Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Featured Posts

Saturday, April 9, 2011

Lomba Mengarang, Bukti Kalau Aku Bisa Menulis

Sebesar apapun bakat yang dimiliki seseorang, kalau tidak dikembangkan dan dibina dengan baik dalam wadah yang benar, pasti akan bersifat mubadzir dan sia-sia belaka. Barangkali ungkapan itulah yang bisa mewakili apa yang terjadi pada diriku. Benar, sejak masih di sekolah dasar, aku sudah mempunyai bakat menulis dan mengarang. Bahkan sudah ada satu tulisan pendek karyaku yang dimuat di salah satu majalah anak-anak terbitan Jakarta. Dan juga beberapa kali ikut lomba mengarang tingkat SD di sekolahku.

Tetapi, ajang lomba – dan pembuktian bahwa aku memang mempunyai bakat menulis – yang sebenarnya, adalah saat duduk di bangku SMP kelas 2. Waktu itu, dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda, diadakan beberapa mata lomba, yang wajib diikuti perwakilan setiap kelas, mulai kelas 1 sampai kelas 3. Untuk wakil kelasku, aku ditunjuk oleh Bu Rimamik (wali kelasku saat itu) untuk ikut lomba mengarang. Entah, apa alasannya kenapa harus aku yang ikut lomba mengarang, apakah karena tulisanku yang bagus atau karena apa, aku tidak pernah menanyakan.

Singkat cerita, aku berlomba bersama 38 siswa lainnya dalam 2 ruang kelas yang berbeda, dengan waktu yang diberikan 150 menit. Lucunya, aku pikir lomba mengarang ini dikerjakan di rumah, jadi malam sebelum lomba aku sudah membuat karangan dengan tema ‘pahlawan dalam era kemerdekaan’ dalam 4 halaman kertas buku tulis. Maksudku, pas hari-H aku tinggal mengumpulkan saja. Ternyata beda, karangan harus dibuat langsung di sekolah dengan waktu 2,5 jam tadi.

The show must go on, aku membuat (menulis ?) lagi karangan dengan tema sama dengan yang sudah aku buat, sebelum memulai lomba aku sempatkan membaca karangan yang sudah aku buat malam sebelumnya. Aku pikir tentu ini bukan perbuatan ‘salah’ karena yang aku lihat ya hasil karanganku sendiri. Beda permasalahannya kalau yang aku lihat adalah hasil tulisan orang lain, tentu ini sudah masuk kategori plagiat.

Sedikit gambaran, yang aku ceritakan dalam tulisanku adalah perjuanganku dalam lomba halang rintang saat mengikuti perkemahan Pramuka tingkat SD se kecamatan Pakis (baca tulisan: Terlatih Jadi Pemimpin untuk Pertama Kalinya). Saat menyeberangi sungai, kakiku terkilir dan terasa sakit banget, tapi aku memaksakan terus mengikuti lomba sampai selesai. Karena sebagai ketua regu, aku tidak boleh meninggalkan anak buah. Aku harus bertanggung jawab terhadap reguku, meski jalan dengan terpincang-pincang menahan rasa sakit. Aku mengibaratkan, itu sama halnya dengan sebuah perjuangan yang dilakukan Jenderal Soedirman saat perang gerilya melawan Belanda. Dalam kondisi sakit, Beliau tetap berada di tengah pasukannya.

Terus terang, aku tidak pernah ‘bermimpi’ menang dalam lomba mengarang seperti ini. Dengan sifat pendiam dan (sedikit) tertutup, aku sebenarnya lebih asyik dengan apa yang aku kerjakan. Itulah sebabnya, ketika saat pengumuman pemenang lomba – bertepatan dengan upacara bendera hari Senin – namaku disebut sebagai pemenang ke-2 Lomba Mengarang, aku kaget dan gemetaran, bahkan diledek teman-teman karena kebengonganku saat disuruh maju ke depan untuk menerima hadiah. Aku juga tidak pernah menyesal karena hanya juara 2, karena sebagai juara 1 saat itu adalah Mbak Ida Maghfuroh, siswi kelas 3, yang memang dikenal mempunyai kepandaian diatas rata-rata temannya.

Setelah menang lomba, memang ada kegairahan untuk menulis. Hadiah berupa 5 buah buku tulis tebal, awalnya aku rencanakan untuk membuat tulisan (karangan) dan catatan harian. Tapi hanya berjalan beberapa hari semata. Selanjutnya, aku menjadi diriku yang pendiam dan asyik dengan keinginanku sendiri. Ya, aku masih masa pancaroba, mencari jatidiri, belum pernah terpikirkan bahwa menulis itu – ternyata – bisa menjadi pekerjaan atau mata pencaharian di kelak kemudian hari.
»»  Baca Selengkapnya...

Tuesday, March 29, 2011

Ketika Rembulan dan Matahari Ada di Kelasku

Memasuki kelas 2 SMP, adalah saat adaptasi (kembali) dengan teman-teman baru. Karena yang tadinya di kelas 1 – yang rata-rata berjumlah 40 siswa – masih menjadi teman sekelas, saat naik kelas 2 diacak kembali. Ya, saat kelas 1 di SMP-ku ada 10 kelas, maka saat kelas 2 tiap kelas adalah gabungan 4-5 orang dari kelas yang berbeda saat kelas 1. Menyenangkan juga sih, karena selain mendapat teman ‘baru’ dari kelas lain, persaingan memperebutkan rangking kelas juga lebih kompetitif.

Tetapi yang cukup menarik – dan ini sering menjadi candaan guru maupun teman-teman – di kelas 2 ini aku punya teman yang namanya Qomariyah dan Samsiyah, dua-duanya perempuan. Menarik, karena secara kebetulan arti 2 nama temanku tersebut adalah Rembulan (=Qomariyah) dan Matahari (=Samsiyah). Lebih menarik lagi, seperti sifat rembulan dan matahari, Qomariyah dan Samsiyah mempunyai sifat bertolak belakang. Qomariyah terkesan pendiam, berambut ombak sebahu, berkulit kuning langsat dan bicaranya tidak begitu keras. Sedang Samsiyah lebih enerjik, berkulit putih dan terkesan cerewet, serta bersuara cempreng. Rambutnya dipotong pendek dengan style Lady Diana.

Kalau mau dideskripsikan lebih detail lagi, Qomariyah adalah tipikal remaja kampung pada umumnya – bisa jadi terkesan dari pelosok, karena jarak sekolah ke rumahnya saja lebih dari 15 km – yang  selalu berpenampilan sederhana. Dengan tinggi badan yang tak lebih dari 150 cm, Qomariyah lebih terkesan agak gemuk. Sedangkan Samsiyah lebih berpenampilan trendy, dan kelihatan kalau datang dari keluarga berada, karena orangtuanya memang juragan penggilingan padi di desanya. Badannya yang langsing dengan tinggi badan ideal, membuat para siswa laki-laki di SMP-ku banyak yang ‘kagum’ saat melihatnya. Apalagi Samsiyah menjadi salah satu dari beberapa siswa – bisa dihitung dengan jari – yang  ke sekolah menggunakan sepeda motor, sementara siswa lainnya menggunakan sepeda pancal, jalan kaki ataupun naik angkutan umum desa.

Nah, meski bertolak belakang, ada satu hal yang membuat Qomariyah dan Samsiyah terasa ‘kompak’ di kelas, yaitu keduanya sama-sama masuk kategori (maaf!) tidak pandai, bahkan untuk nilai ulangan harianpun selalu dibawah rata-rata kelas. Aku sendiri kurang faham, kenapa rata-rata siswa perempuan yang datang dari pelosok desa selalu masuk kategori kurang pandai. Apakah mereka memang ‘menjalani’ sekolah hanya sekedar formalitas untuk ‘status’ saja – sambil menunggu umur cukup untuk menikah, jadi tidak punya motivasi untuk belajar giat dan harus pintar – ataukah memang masuk jenjang SMP sudah dianggap cukup tinggi, yang pada akhirnya setelah lulus toh langsung menikah juga, agar tidak masuk kategori perawan tua yang tidak laku.

Yang pasti, ada kejadian yang menarik – dan agak konyol ? – yang berhubungan dengan dua orang temanku ini. Yaitu pada saat pelajaran Biologi yang mengambil tempat di ruang laboratorium IPA. Karena satu Bab pokok bahasan sudah selesai, Pak Gatot Sutjipto (guru Biologi) memutuskan untuk ulangan. Celakanya, ini bagi teman-teman yang nggak siap ulangan, Pak Gatot mengacak tempat duduk kami. Satu meja panjang & besar laboratorium dipakai untuk 4 siswa, dengan duduk selang-seling siswa laki-laki dan perempuan. Aku kebagian duduk di meja sebelah kanan nomor 3 dari depan, dengan posisi duduk sebelah kiriku Qomariyah dan sebelah kanan Samsiyah, serta paling ujung kanan Wahyu Sardono.

Nah, saat 20 menit terakhir dipakai untuk koreksi bersama, muncul ‘kejutan’ dari nilai-nilai yang langsung dibacakan Pak Gatot. Aku mendapatkan nilai 84. Sedang 3 teman sebangkuku, mendapat nilai diatas 60-an. Qomariyah 65, Samsiyah 72, Wahyu Sardono 76. Suasana jadi ramai di ruang laboratorium, karena menurut teman-teman ada yang aneh dengan 2 teman sebangkuku, mana mungkin Qomariyah dan Samsiyah bisa mendapat nilai sebesar itu (apalagi ini pelajaran Biologi!), karena biasanya hanya mendapat nilai maksimal tak lebih dari 30-an.

Kasarnya, pasti mereka berdua mencontek ke aku – dan kenyataannya memang hiya, hehehe – apalagi aku tipikal siswa pendiam dan pemalu, sehingga tidak bisa menolak kalau ada yang minta bantuan, termasuk contekan sekalipun. Untungnya Pak Gatot tidak mempermasalahkan hal ini. Cuma untuk ulangan-ulangan berikutnya aku sudah tidak pernah lagi didudukkan sebangku dengan Qomariyah dan Samsiyah.


Memang, masih ada cerita-cerita lucu yang berhubungan dengan kedua temanku itu, tetapi lebih pada kejadian keseharian di kelas, yang bisa jadi dialami siapa saja saat masih duduk di bangku sekolah SMP. Meski nilai dibawah rata-rata, syukurnya Qomariyah dan Samsiyah tetap naik kelas dan lulus dari SMP, tanpa pernah tinggal kelas. Dan memang, seperti yang aku duga semula, kabar yang beredar Qomariyah dan Samsiyah dijodohkan orang tuanya begitu lulus SMP. Sebuah tradisi yang sulit untuk dikikis!
»»  Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 2, 2011

Ajaran ‘Bertanggung Jawab’ dari Bungkus Ketupat

Bisa membuat ketupat? Ya, tepatnya ‘bungkus ketupat’ yang terbuat dari anyaman janur (itu lho, daun kelapa yang masih muda) biasanya untuk salah satu sajian wajib di hari Lebaran? Kalau tidak bisa, apalagi anda berjenis kelamin laki-laki, ya siap-siap saja kelak di akhirat ‘dihukum’ menusuki (mbithingi = bahasa Jawa) daun asam yang berukuran kecil – berukuran tidak lebih dari 1 cm -- dengan antan (alu = bahasa Jawa), alat menumbuk padi yang super besar itu.

Begitulah ‘ajaran’ yang diberikan di keluargaku saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Sehingga, mau tak mau aku harus bisa membuat ketupat sendiri, agar kelak tidak mendapat ‘siksa’ yang super berat tadi. Entahlah, apakah itu hanya menakut-nakuti supaya sejak kecil kita bisa membuat ketupat sendiri, atau memang begitu adanya, yang pasti aku terlecut belajar membuat ketupat saat menginjak usia 9 tahun.

Aku belajar membuat ketupat dari Mak Pan – ini nama familiku yang sudah ‘mengabdikan’ diri di keluargaku sejak aku baru usia balita – yang saat itu masih berusia 20-an tahun. Meski dipanggil Mak Pan, sebenarnya beliau ini laki-laki tulen, yang bernama Kaspan. Panggilan Mak adalah dari kata ‘Pamak’ atau ‘Paman’ dalam tradisi Jawa. Jadi sebenarnya adalah Paman Kaspan yang disingkat jadi Mak Pan. Seingatku, saat itu aku belajar membuat ketupat bersama-sama dengan Mbak Anda (kakakku) dan Sri (adikku). Tidak memerlukan waktu lama, setelah hampir 2 jam belajar, aku sudah bisa membuat ketupat sendiri.

Oh hiya, tradisi Lebaran Ketupat di desaku sama ramainya dengan suasana Lebaran di hari pertama. Lebaran Ketupat biasanya diadakan satu minggu setelah Lebaran 1 Syawal. Selain (hampir) semua rumah membuat ketupat secara serentak, biasanya siang sampai malam harinya saling antar ketupat dengan tetangga-tetangga dan sanak saudara yang jauh sekalipun. Sehabis sholat Ashar sampai malam, bergantian dari rumah ke rumah saling mengundang untuk kenduren (=kendurian). Sunggu sehari yang penuh kesibukan, selain penuh makanan ketupat dan sejenisnya.

Satu hal yang menurutku penuh dengan makna, sebenarnya bukan dari suasana dari Lebaran Ketupat itu. Melainkan ‘ajaran’ bahwa anak laki-laki harus bisa membuat ketupat, kalau tidak pasti kelak akan mendapat ‘siksa’. Ini menurutku bermakna luas. Pertama, sudah sewajarnya anak laki-laki harus bisa mengerjakan hal-hal yang (kelak) akan menjadi tanggung jawabnya, yaitu membuat ketupat untuk keluarganya. Kedua, membuat ketupat (mulai dari mencari janur, dan seterusnya) tentulah pekerjaan kaum lelaki, sehingga sejak kecil harus diajarkan bahwa membuat ketupat adalah tugas seorang lelaki.

Apapun itu, sampai kelak aku sudah dewasa dan berkeluarga, sebisa mungkin aku membuat sendiri ketupat untuk keluargaku setiap Lebaran tiba. Walaupun, pada jaman yang semakin maju ini, sudah banyak dijual bungkus ketupat siap pakai di pasar-pasar tradisional. Tentu bukan masalah ribet atau praktisnya, tetapi ‘ajaran’ bahwa seorang laki-laki haruslah bertanggung jawab – untuk urusan apapun – pada keluarganya, itu yang harus tetap dijunjung tinggi!
»»  Baca Selengkapnya...

Saturday, January 29, 2011

Mas Eko, Sahabat Sekaligus Mentor Organisasi di OSIS

Bicara masalah organisasi saat sekolah – baca: OSIS – aku langsung teringat pada sosok  Mas Eko, Ketua OSIS SMA Negeri Tumpang periode 1985/1986. Eko Santoso,  begitu nama lengkapnya, sebenarnya hanyalah siswa biasa, jauh terkesan sebagai local idol yang digilai-gilai lawan jenis dan membuat iri sesame jenis (biasanya yang model gini ini, anak yang banyak gaya, sedikit punya kemampuan tertentu, wajah diatas rata-rata, tetapi biasa-biasa saja di pelajaran).

Yang membuat Eko “lebih” dari yang lain adalah selain pemain utama tim basket sekolah, otak encernya diatas rata-rata teman seangkatannya.  Pemilik tubuh tegapdengan tinggi sekitar 175 cm ini juga (kebetulan) seorang muslim taat dari etnis Chinese. Barangkali karena alas an itu pula penghuni IPA-1 ini terpilih sebagai Ketua OSIS secara aklamasi.

Satu kejadian yang bagiku paling berkesan – sehubungan pertemanan dengan Mas Eko –adalah saat mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tingkat Kabupaten Malang tahun 1985. Berkesan (sekaligus salut !) karena dengan inisiatif sendiri  Mas Eko membuat karya tulis, tanpa disuruh guru Pembina OSIS ataupun dorongan dari pihak sekolah, tetapi hanya berbekal selebaran yang dikirim kesekolah oleh panitia.

Judul yang diajukan pun saat itu sangat orisinil, yaitu (mudah-mudahan kalimatnya pas begini) : “Cara Mudah Menghitung Perkalian sampai 5 Digit dengan Menggunakan Bantuan Jari”. Karya ini termasuk dalam kategori “Temuan Baru” karena belum ada teori tertulis sebelumnya yang terpublikasi (memang sih, beberapa tahun kemudian, muncul Metode Kumon yang menurutku hampir sama dengan apa yang ditulis Mas Eko di tahun 1985. Kebetulan ?).

Disaat-saat batas akhir pengumpulan karya tulis, tanpa dinyana Mas Eko memasukkan namaku dalam tim, alasannya lomba karya tulis bukan untuk perorangan, tetapi beregu dengan jumlah minimal 2 orang. Yo wis, nolak juga nggak enak, pokok’e ikut saja. Pas minta restu (pengesahan) dari Drs. Munawar, Kepala Sekolah saat itu – hari Sabtu di penghujung bulan April sekitar jam 9 pagi, padahal batas pengumpulan jam 13.00 di Kantor Depdikbud ab. Malang – ndilalah sambutannya biasa-biasa saja, hanya disarankan minta “sangu” ke Bagian Keuangan OSIS yang saat itu dipegang Bu Runia Laksmiwati.

Dengan segala alasan, Bu Runia bisanya ngasih Rp. 650,- saja, yang hanya cukup untuk ongkos transport PP dari SMAN Tumpang ke Kantor Dikbud Kabupaten (yang kalo nggak salah saat itu di sekitar jalan ke arah Kebon Agung).

Keluar dari ruang guru, dengan lirih Mas Eko bilang, “Geng, duwik’e mek cukup digawe wong siji tok. Yok opo iki ?” Dan tanpa disangka Mas  Eko nyambung lagi, Wis pokok’e awak’e dewe kudu budal wong loro. Gak usah lewat Patimura (nama terminal Malang dahulu, red) tapi liwat kidul ae. Ayo’ wis berangkat sak iki ae !”.Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Geng, uangnya Cuma cukup dipakai satu orang saja, giman aini? Sudah, pokoknya kita tetap harus berangkat berdua. Nggak usah lewat terminal Patimura, tapi lewat selatan saja. Ayo, kita berangkat sekarang!”

Singkat cerita, kami berangkat naik mobil colt yang melewati Banjarejo, terus Kedung Kandang, dan memilih turun di sekitar Kota Lama (bayar Rp. 300,- berdua). Karena ngirit ongkos, ke kantor Dikbud jalan kaki sekitar 2 km, panas-panasan sekitar jam 12-an siang. Sampai kantor Dikbud tercatat sebagai peserta terakhir yang memasukkan naskah lomba, karena sudah sekitar jam 12.30 (eh hiya, 3 copy Karya Tulis itu semuanya diketik manual dan beberapa bagian ditulis tangan. Kayaknya belum ada yang namanya computer deh saat itu).

Begitu urusan selesai, balik ke Tumpang lewat Kota Lama lagi, jalan kaki lagi, dan jaraknya sekitar 2 km juga. Anehnya, saat itu kami berdua tidak mengeluh dan malah becanda terus di perjalanan (sambil ngrasani, koq tego yo pihak sekolah nang awak’e dewe, hehehe…). Sebelum naik colt jurusanTumpang, kami sempat berunding gimana kalo sisa uang yang Rp. 50,- dibelikan es sirup pinggir jalan saja, lumayan, dapat 2 gelas, dan sisanya Rp. 300,- untu kongkos naik colt.

Memang, akhirnya karya tulis Mas Eko (sengaja tidak aku tulis “KAMI” sebab aku memang tidak memberikan kontribusi apa-apa.  Suer!) tidak menang, bahkan untuk masuk 10 besar pun tidak diperhitungkan. Tidak ada rasa kecewa, bahkan Mas Eko membesarkan hatiku, “Gak popo Geng, sing penting awak’e dewe wis wani nyoba’  melok. Dadi iso ngukur kemampuan awak’e dewe iki sepiro disbanding sekolah liyane..!” (terjemahannya: “Nggak apa-apa Geng, yang penting kita sudah berani mencoba ikut. Jadi bisa mengukur kemampuan kita ini seberapa dibanding sekolah lainnya.”)

Bukan main, begitu legowo-nya dia, meski sebenarnya ada nada kecewa pada pihak sekolah yang kurang memberi dukungan. Dan untuk mensosialisasikan “karya” Mas Eko ke teman-teman, aku sempat memasukkan kedalam salah satu edisi Majalah Sekolah Widya Wiyata, yang kebetulan saat itu aku ikut menjadi pengelolanya.

Seiring bertambahnya waktu, setelah lulus SMA Mas Eko pernah mendaftar ke Akademi Angkatan Laut (mudah-mudahan nggak salah), tetapi gagal dalam 2 kesempatan karena faktor non-teknis. Trus, masih kalau nggak salah, mendaftar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dan, kabar terakhir Mas Eko saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Surabaya. Aku sendiri belum pernah berkomunikasi sampai saat ini. Tetapi, bagaimanapun juga, Mas Eko sudah member banyak “pelajaran” padaku, setidaknya Mas Eko-lah yang menjadi mentor pertamaku dalam belajar berorganisasi, utamanya di OSIS.


***
»»  Baca Selengkapnya...

Wednesday, December 22, 2010

Kalau Ibu Marah, Itu Artinya Sayang

Setiap mengenang Ibuku, saat itu pula ribuan, jutaan – atau bahkan tak terhingga – berbagai kejadian dan peristiwa yang berkaitan dengan Ibu, begitu saja silih berganti berlomba melintas di kepalaku. Hebatnya, tak ada satupun yang bercitra negative atau membuat aku kecewa, marah ataupun dendam. Semuanya begitu indah, begitu penuh makna. Meski saat peristiwa itu terjadi, aku belum bisa mencerna makna dari ikap ataupun perbuatan yang dilakukan ibu.

Peristiwa yang membuat aku sangat menyesal – kelak di kemudian hari, ketika aku sudah berkeluarga dan mempunyai putra – adalah ketika ‘melawan’ larangan ibu agar aku membatalkan keinginanku menonton pertandingan sepakbola di lapangan kecamatan (kalau nggak salah final antar desa dalam rangka 17-an) bersama teman-teman sekolahku. Alasan ibu sederhana, cuaca siang itu cukup mendung dan ada tanda-tanda akan terjadi hujan lebat.  Apalagi tempat tinggalku masuk kategori dataran tinggi, sehingga kemungkinan hujan lebat sangat besar di saat musim penghujan seperti itu.

Tapi larangan ibu aku anggap sebagai sikap yang menganggap aku anak kecil. Padahal aku sudah kelas 5 SD saat itu. Dalam benakku, aku sudah jadi anak gede yang boleh main dan nonton bola di lapangan yang jaraknya 1,5 km dari rumah. Apalagi teman-teman seperti Lastari, Budi, Nurcholiq, Yulianto dan Sofyan – ini teman-temanku di SD dan juga tetanggaku – sudah menjemputku sejak jam 2 siang.

Seperti sebuah kutukan dari Ibu, sesampai di lapangan 20 menit kemudian, hujan mulai turun dan langsung deras. Padahal dilapangan masih belum ada penonton yang datang, karena pertandingan sepakbola diadakan sekitar jam 3 sore. Aku berlima akhirnya berteduh di bawah pohon lamtoro yang banyak di pinggiran lapangan. Basah kuyup dan kedinginan, serta lapar. Satu jam kemudian hujan tiba-tiba berhenti dan ada sinar matahari. Kata orang-orang, itu kerjaan tukang sarang hujan yang sengaja disewa untuk ‘mengamankan’ cuaca di partai final sepakbola ini.

Singkat cerita, ketika sampai di rumah lagi, hari sudah menjelang mahgrib. Aku masuk rumah dengan rasa was-was, karena kekhawatiran ibu aku kehujanan di lapangan terbukti. Saat minta baju ganti ke ibu, aku didiamkan saja sama ibu. Begitu juga saat minta makan karena kedinginan dan lapar, ibu hanya diam saja. Akut ahu, ibu sangat marah luar biasa. Ketika aku ke dapur dan sedang mau ambil nasi, ibu menghampiriku sambil mencubit keras-keras dadaku dan bergumam, “Ini upah anak yang nggak nurut orang tua.” Aku menangis, karena sakit dan juga takut karena sudah melawan larangan ibu.

Ya, itulah – salah satu – cara ibu mendidik kami, anak-anaknya. Keras, tidak banyak bicara, tapi dibalik semua itu juga ada kelembutan dan juga kasih sayang yang luar biasa. Dan 30-an tahun kemudian, ketika aku sudah menjadi ayah, baru aku merasakan ‘kekhawatiran’ yang persis sama seperti ibuku, ketika Tyo putraku belum juga pulang main, meski sudah menjelang maghrib. Aku punya kemarahan yang sama dengan ibuku ketika Tiwi putriku melanggar apa yang aku larang.

Aku dapat pelajaran yang sangat berharga dari peristiwa-peristiwa yang aku jalani ketika masih kecil, terutama dari sikap dan perilaku ibu. Memang, kemarahan ibu (baca: orangtua) tidak selalu berkonotasi keras dan otoriter, tetapi lebih dari itu, ada rasa kasih saying dan kekhawatiran yang luar biasa pada anak-anaknya, terutama pada hal-hal yang tidak diinginkan.
»»  Baca Selengkapnya...

Wednesday, November 10, 2010

Terlatih Jadi Pemimpin untuk Pertama Kalinya


Selama menjalani sekolah di tingkat dasar (SD) 6,5 tahun -- ya benar, enam tahun enam bulan, karena di Januari 1979 semua jenjang sekolah di Indonesia diperpanjang enam bulan, yang semula kenaikan kelas di tiap akhir tahun (bulan Desember) dirubah menjadi bulan Juni kenaikan kelasnya -- aku belum pernah diajarkan ke-Pramuka-an secara benar. Memang ada kegiatan Pramuka, tetapi disisipkan pada pelajaran olahraga dan kesehatan, selang-seling tiap minggunya. Itupun lebih banyak pada hafalan Dasa Dharma dan mengenal simbol-simbol tanda jejak serta lagu-lagu pramuka.

Nah, ketika aku sudah selesai menjalani Ebtanas dan tinggal nunggu hasil, ternyata di lapangan kecamatan yang jaraknya kira-kita satu kilometer dari rumahku, diadakan perkemahan Pramuka tingkat SD (Penggalang) se Kecamatan Pakis, selama 2 hari (sabtu-minggu), dalam rangka memeriahkan Jambore Nasional Pramuka ke-3 dan Jambore Pramuka Asia Pasifik ke-6, yang diadakan di Cibubur, Jakarta Timur.

Untuk yang tingkat kecamatan ini, sekolahku ikut serta juga, dan yang dikirim adalah adik-adik kelas V. Entah dapat tenda darimana, dan bagimana adik-adik itu bisa mengikuti kegiatan -- karena setahuku di SD memang tidak ada pelajaran Pramuka -- yang pasti pada suatu petang (selepas maghrib) aku diajak Rochim dan Bagong, teman sekelas yang sama-sama selesai Ebtanas, untuk melihat perkemahan di lapangan tersebut.

Ironisnya, tenda SD Pakisjajar I – ini nama sekolahku – masuk kategori yang cukup memprihatikan, selain tendanya berukuran kecil, oleh panitia juga ditempatkan di deretan paling belakang dari 3 lajur yang ada. Dan sekolahku ternyata cuma mengirim regu laki-laki saja. Saat ketemu Pak Sunanto, guru yang selama ini merangkap mengajar Pramuka, beliau mengemukakan kalau cuma 6 anak yang datang ikut perkemahan dari yang seharusnya 10 orang. Intinya, Pak Nanto minta kami bertiga bersedia ikut berkemah dan menyuruh kami pulang kembali untuk ganti pakaian Pramuka dan membawa perlengkapan kemah seadanya.

Singkat cerita, malam itu kami ber-3 bergabung di regu Pramuka sekolahku, dan secara sepihak Pak Nanto dan teman-teman memilih aku sebagai Ketua Regu. Dan yang tanpa aku duga, Pak Nanto pamit tidak bisa menemani kami selama perkemahan karena ada acara keluarga yang harus beliau hadiri. Ya, apa boleh buat, toh ini hanya perkemahan penggembira saja, pikirku saat itu.

Tapi, yang aku pikirkan berbeda 180 derajat, karena esok harinya setelah apel pagi, semua SD  peserta perkemahan wajib mengikuti lomba penjelajahan dan dapur umum serta kebersihan tenda, baik putra maupun putri. Gawaaat.., aku harus cepat mengambil keputusan sekaligus bagi tugas, yakni 6 orang ikut penjelajahan dan 3 sisanya ikut lomba dapur umum sekaligus menjaga tenda agar tetap rapi dan bersih. Yang kami bingungkan saat itu, kami tidak tahu harus berbuat apa saat lomba nanti, karena memang belum pernah diajarkan. Belum lagi perlengkapan yang kami bawa juga seadanya.

The show must go on, sebelum start penjelajahan, aku katakan pada anggota reguku untuk selalu memperhatikan regu (sekolah) lain dalam melakukan prosesi apapun, baik itu cara hormat memakai tongkat, mengerjakan tugas di lapangan, maupun memecahkan tanda jejak. Entah dapat ‘kekuatan’ darimana, aku tak pernah kendor memberi semangat pada reguku agar tidak minder pada regu lain yang seragam dan perbekalannya lengkap, teknik kepramukaannya mumpuni dan selalu didampingi pembinanya. 

Alhamdulillah, semua rintangan dapat kami atasi, pertanyaan dan tanda jejak kami jawab dan lewati dengan lancar, meski tidak sempurna. Tidak ada terlihat wajah kecapekan dari kami ber-6. Begitu tengah hari memasuki finish dan kembali ke tenda, kami masih semangat dan penuh canda, meski yang kami temui di tenda hanyalah air putih, roti sepotong dan mie rebus (tanpa nasi, karena memang tidak ada yang berbekal beras).

Ya, itulah pengalaman pertamaku sebagai ‘pemimpin’ yang harus membuat ‘keputusan’ cepat dalam kondisi darurat. Itulah kali pertama aku tidak merasakan sakit dan ngilu di kakiku meski terkilir saat menyeberang sungai paling depan (sebagai pimpinan regu aku tidak mau terlihat 'sakit' di depan anak buahku). Setidaknya, kegiatan Pramuka di akhir aku menempuh bangku SD ini sudah memberiku pelajaran berharga, yang kelak akan menjadi dasar bagi kegiatanku berikutnya di organisasi-organisasi yang aku ikuti. 

Dan,adalah benar bahwa seorang pemimpin terlahir karena tempaan di ‘lapangan’, bukan karena latihan dan teori-teori semata !
»»  Baca Selengkapnya...

Sunday, October 10, 2010

Menulis Itu Tak Beda dengan Kita Ngomong, Koq !


Wuiiih…, judulnya penuh (mengandung) kesombongan ya? Hehehe.., tidak juga sebenarnya. Karena membuat tulisan pada dasarnya sama seperti kita berbicara lisan, harus punya pola, struktur dan juga perbendaharaan kata yang cukup. Setelah itu, tinggal merangkainya saja.  Dan seperti bicara lisan, saat menulis pun kita harus sesuaikan siapa yang dihadapi. Maksudnya, apakah untuk konsumsi anak-anak, remaja, ataupun umum. Setidaknya, begitulah yang aku alami, sekaligus aku katakan setiap ditanya bagaimana cara membuat tulisan yang enak – emangnya makanan ya – dibaca ?

Its okay.., ini adalah jabawan dari beberapa pertanyaan teman-teman pengunjung beberapa blog-ku – ketahuan kan, kalau aku punya blog lebih dari satu – yang menanyakan bagaimana memulai menulis, menemukan ide tulisan, sampai menentukan jenis tulisan. Agar aku tidak berulang menuliskan lagi, berikut cuplikan tulisan dari blog yang aku kelola, yang aku buat di awal tahun 2009 silam, dengan judul: Ternyata Menulis Itu Gampang. Begini ceritanya:

Aku jadi ingat, sekitar awal tahun 1989 aku pernah menjadi (salah satu) pembicara/tutor Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar untuk adik-adik pengelola Majalah Widya Wiyata (Wita) dan beberapa pengurus OSIS di SMAN 1 Tumpang. Waktu itu aku sempat membuat diktat sebagai panduan (lengkap, mulai menulis opini, features, berita/news, sampai teknik wawancara & tata letak/lay out). Tujuannya, supaya adik-adik SMAN Tumpang ndak "ketinggalan" kalau ngomong masalah jurnalistik dan permasalahan majalah sekolah dengan SMA di kota atau daerah lain. Tapi, ya itu tadi, ternyata ilmu itu hanya bisa diterapkan dalam satu tahun kepengurusan. Ketika ganti pengelola, sama sekali tidak berjalan.

Agar tidak bertele-tele, ini ada TIPS ala kadarnya yang paling gampang diterapkan untuk memulai belajar menulis, yaitu:

Tahap Pertama (untuk latihan) : Apa yang ada di pikiran kita, coba dieksploitasi semua (dan diimplementasikan) dalam bentuk tulisan. Biarkan mengalir begitu saja, gak usah dipikirkan, Ini baik apa enggak ya? Yang penting ditulis. Persis sama kalau kita ngomong atau nggedabyah, apa nulis surat cinta gitu... (tapi, yang ini melalui tuts keyboard bukan melalui mulut).

Tahap Kedua : Coba dibaca lagi apa yang sudah kita tulis tadi, ada yang janggal enggak? Ada yang bertele-tele enggak? Ada kata-kata yang terlalu baku enggak? Ada yang kurang lucu enggak? (untuk yang nulis lucu-lucuan), Atau, ada yang kurang jelas enggak? Nah.., ditahap ini barulah kita koreksi, mana yang perlu dirubah, mana yang perlu ditambah atau dibuang. Persis kayak ngoreksi karangan. Jaman masih memakai mesin ketik dulu, untuk tulisan pertama mesti harus menggunakan 2 spasi, agar ada ruang kosong buat nyoret dan koreksi. Kalau sekarang sih ndak perlu lagi, di komputer tinggal di-delete, beresss !

Tahap Ketiga : Baca lagi! Udah pantas belum? Tapi, menurutku, pantas gak pantas memang harus di publish dulu. Biarkan teman-teman yang menilai. Makin sering kirim tulisan, makin terlatih otak kita memilih kata-kata yang enak dan pas (termasuk juga penempatan tanda baca lho!).

Tahap Keempat : Biasakan membaca tulisan di majalah, koran atau tulisan teman sendiri. Perhatikan karakter tulisan tersebut (jelas beda lho, mana tulisan berita/newsfeatures, fiksi, ilmiah, dll). Dari situ kita bisa "belajar" , oooh ternyata gitu to nulis features itu? Oooh kalau tulisan news ternyata harus hemat kata (nggak bertele-tele). Dan seterusnya, dan seterusnya. Lantas ? ya coba aja nulis sendiri dulu....

Tahap kelima : Segera menulis sendiri. Jangan keenakan baca tulisan ini (emang nggak capek sambil kerja disuruh ngetik tulisan ginian? Emang gue cowok apaan? hehehe...). Ciao !



*** Tulisan ini pernah dimuat di milist Yahoogroups “ smantumpang”, 
dan blog smantumpang.blogspot.com (Januari 2009) dengan perubahan seperlunya.

»»  Baca Selengkapnya...

Friday, September 10, 2010

Melacak Asal Usul Nama Mas Prie


Meski William Shakespeare mengatakan "What's In a Name", tetapi sebuah nama tetap saja punya sejarah tersendiri, entah bagi yang memberi maupun yang punya nama itu sendiri. Bahkan, nama pemberian orang tua itu adalah (mengandung) doa, begitu kata Ustadz Abdurrahman – ini nama Ustadz yang menjadi Ketua DKM di Masjid Adz Dzakirin, Perumahan Grand Harmony, tempat tinggalku – setiap aku mengikuti selamatan aqiqah di kompleks perumahan. Seperti namaku misalnya, Sugeng Pribadi. Sugeng artinya selamat, Pribadi artinya diri-sendiri. Jadi orang tuaku memberi nama yang mengandung doa: agar diriku tetap selamat dunia akhirat, sampai akhir jaman, amiiiin.

Nah, hubungannya dengan nama Mas Prie apa? Kan wajar saja nama Sugeng Pribadi dipanggil dengan Mas Prie, nggak ada yang aneh tuh ?

Ya benar, wajar-wajar saja. Cuma, sebenarnya – dulunya, awalnya, asal mulanya, haiyaaaah… – nggak ada yang manggil aku dengan sebutan itu. Nama Mas Prie adalah nama “samaran” saat aku masih mengelola majalah sekolah di jaman SMA. Nama majalahnya Widya Wiyata. Karena nggak nyaman juga menulis nama asli di setiap tulisan yang aku buat, setidaknya niru-niru di majalah terkenal yang di setiap akhir sebuah artikel dimunculkan nama inisial penulisnya atau samaran, semisal: Ars, Satmowie, Boim, Den Sastro, Dwie Koen, dan seterusnya.

Uniknya, karena aku hidup sebagai ABG tahun 80-an, cara penulisan nama – atau apapun juga – juga memakai style yang lagi popular jaman itu. Entah darimana asal mulanya, yang pasti hampir semua remaja (khususnya di Malang) mempunyai style yang sama. Misalnya mau menulis kelompok atau komunitasnya yang bernama “selebor” pasti ditulisnya Zhelebhour, menulis kota “Tumpang” menjadi Thoempank, bahkan nama “Sugeng” pun biasa ditulis zhoegenk.

Jadi, saat memilih nama samaran untuk jadi penulis di majalah sekolah, aku memakai nama must prie. Yaaaa.., biar agak kelihatan kebarat-baratan dan bau-bau bahasa Inggris gitu. Bandingkan dengan ABG di jaman sekarang, yang untuk menulis namanya saja – di facebook, blackberry, sms ataupun pembicaraan sehari-hari – pakai style kemanja-manjaan seperti bayi cadel, ciyus nih…, nggak percaya? Atau, contoh lain, di awal tahun 2000-an, para ABG menulis apa saja dengan menggunakan huruf dan abjad acak, besar (capital) kadang juga kecil. BaNyAk jUgA SiH cOntOhnYa, tapi nggak perlulah aku tulis disini.

Kembali ke topik bahasan. Awalnya sukses sih, hanya teman-teman pengelola majalah sekolah dan pengurus OSIS saja yang tau kalau must prie itu aku. Memang nggak bertahan lama. Habis berapa besar sih luas SMA Negeri 1 Tumpang – ini nama sekolahku – yang cuma diisi sekitar 900 siswa, hanya untuk mencari sosok misterius bernama must prie? Hehehe…..  Cuma, selain senang karena akhirnya aku dikenal (dan dipanggil) sebagai Mas Prie, sebagian lagi masih ada yang memanggil dengan bacaan yang “sempurna” yaitu: mus priye (sesuai tulisannya: must prie), celaka memang.

Dalam perjalanan waktu, nama PRIE – tidak lagi memakai kata MAS didepannya – yang menjadi identitas di setiap tulisanku, entah di media cetak, di koran dan majalah kampus, di tabloid tempat aku pernah menjadi reporter, di blog, ataupun identitas kepenulisan lainnya. Bahkan tanda tanganku pun, kalau dilihat dengan seksama akan terbaca PRIE. Kalau toh sampai sekarang masih ada yang memanggil Mas Prie, yang nggak apa-apa, lha memang itu namaku.

Cuma, kalau di tempat aku bekerja, nama itu nggak dipakai, karena memang di dunia kerja lebih formal dengan memakai nama asli. Satu pengalaman menggelikan, pernah ada teman sekolah, yang telepon ke kantorku dan ‘maksa’ ingin bicara dengan Pak Prie yang kerja di Mustika Ratu, ya semua – baik  operator sampai teman-teman kerja – nggak ada yang tau. Untungnya ada teman kantor yang inisiatif tanya, memangnya Pak Prie itu asalnya dari mana ? Ketika dijawab dari Malang, terkuaklah siapa gerangan yang dicari penelepon itu, siapa lagi kalau bukan aku, yaitu Must Prie, eeeh… Sugeng Pribadi.
»»  Baca Selengkapnya...

Tuesday, August 10, 2010

Ketika Tulisan Pertamaku Muncul di Majalah Terbitan Jakarta


Hobi membaca berbanding lurus dengan kemampuan menulis, barangkali kalimat tersebut bisa mewakili kesukaanku akan dunia tulis menulis. Setidaknya, karena terbiasa membaca apa saja – koran, majalah, tabloid, buku cerita ataupun brosur pameran – aku jadi bisa memilih kata dan membuat kalimat lebih terstruktur, terutama kalau ada pelajaran mengarang.

Lucunya, ketika ada kesempatan mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak (majalah) justeru yang pertama aku tulis bukannya karangan tentang suasana desa ataupun cerita keseharian, tetapi malah ‘pengalaman lucu’ di rumah. Adalah majalah Kawanku – terbitan Jakarta dan merupakan majalah anak-anak skala nasional – yang pertama kali menginspirasiku untuk mengirimkan tulisan. Entah mengapa, setiap majalah Kawanku terbit di hari Selasa, rubrik pertama yang aku baca biasanya adalah tulisan-tulisan karya pembaca, baik berupa cerita ataupun pengalaman keseharian.

Nah, karena di rumah – yang memang keluarga besar – termasuk keluarga humoris, yang selalu penuh canda dalam keseharian, maka suatu saat aku ingin menuliskannya dalam sebuah cerita lucu, yang (akhirnya) aku kirim ke majalah anak-anak Kawanku. Ceritanya sangat sederhana, yaitu kebiasaan kami, aku dan adik-adikku, setiap disuruh Ibu untuk mengambil sesuatu pasti selalu menjawab, “Dimana, Bu?”  Karena memang suka becanda, Ibu kadang-kadang menjawab dengan kalimat, “Di rumah Mbak Lastri sana!” (ini nama tetangga belakang rumah). Meski jawaban Ibu cuma becanda, kadang kami tanpa pikir panjang langsung lari ke rumah Mbak Lastri. Dan tentu saja kami kecele, hehehe....

Cerita sederhana itulah yang dalam waktu satu bulan setengah kemudian – sejak aku kirim via kantor pos – dimuat di majalah Kawanku, saat aku masih duduk di bangku kelas VI. Tulisan itu memang tidak dikirim asal-asalan, tetapi aku ketik rapi (memakai mesin tik yang dibawa pulang Bapak dari kantor desa tiap harinya), dan beberapa kali aku rapikan kata-katanya, sehingga setidaknya 4 kali ganti kertas HVS.

Kalau ditanya tentang perasaan saat itu, sungguh sangatlah senang, karena aku merasa tulisan yang dibuat anak SD dari kota kecamatan di wilayah Kabupaten Malang bisa dimuat di majalah anak-anak terbitan ibukota Jakarta. Rasanya tidak percaya, bahwa aku bisa ‘menembus’ media cetak skala nasional.

Dan tidak berselang lama, kira-kira 5 hari sejak dimuat, sebuah wessel senilai Rp. 7,500,- diantar pak pos ke rumah. Ya, honor pertama sebagai penulis sekaligus pengalaman pertama mendapatkan uang dari hasil keringat (kemampuan?) sendiri. Memang tidaklah besar – kalau menurutku saat itu ya lumayan besar, apalagi sebagai anak yang baru kelas V SD – dibandingkan dengan harga sepatu basket yang sudah mencapai harga Rp. 20,000,- saat itu. Bahkan, saat mengambil di kantor pos, petugas pos bercanda sambil mengatakan lumayanlah uang segitu, bisa dibelikan petasan dan kembang api untuk persiapan di bulan puasa (aku jadi ingat, bahwa saat itu memang menjelang bulan puasa ramadhan, hehehe...).

Begitulah, apa-apa yang ‘pertama’ selalu berkesan, dan sering menjadi tonggak perjalanan seseorang untuk masa depannya. Dan tulisan pertamaku yang dimuat di majalah Kawanku, nampaknya akan menjadi tonggak kesukaanku akan dunia tulis-menulis, meski tidak (benar-benar) menjadi seorang penulis!
»»  Baca Selengkapnya...

Saturday, July 10, 2010

Pak Margo, Guru Paling Sabar Sedunia. Tapi…


Saat baru duduk di bangku SMP, satu kebiasaan yang hampir dilakukan seluruh siswa baru adalah saling mencari informasi ‘semua hal’ tentang guru yang mengajar setiap mata pelajaran. Ya cara ngajarnya, kebiasaan di kelas, killer apa enggak, suka ngasih PR apa enggak, sampai nyari tau apakah guru tersebut suka nyuruh murid maju ke depan apa enggak. Namanya juga baru masuk SMP, yang jauh beda saat masih di SD, yang gurunya cuma itu-itu juga – guru kelas yang mengajar semua mata pelajaran – kecuali guru agama yang berbeda.

Dari investigasi antar kelas tersebut, muncul satu nama yang menjadi guru favorit – bukan karena keren, cara ngajarnya bagus atau apa – yaitu Pak Margo Utomo, yang terkenal karena kesabarannya yang luar biasa. Memang sih, beliau kalau menerangkan di depan kelas, suaranya tidaklah terlalu keras dan tetap menerangkan (cuek?) walau muridnya pada bertingkah aneh-aneh. Mau ngobrol kek, mau main kapal-kapalan kek, atau malas-malasan senderan di kursi juga dibiarkan. Paling-paling beliau cuma ngomong, “Ayo cah.., cubo nyimak neng papan tulis!” (= Ayo anak-anak.., coba perhatikan ke papan tulis!).

Kesabaran Pak Margo Utomo yang sudah terkenal seantero SMP Negeri 1 Tumpang ini, kadang memang ada sisi positifnya, yaitu mata pelajaran Bahasa Jawa – yang diajarkan beliau – mudah dicerna dan bukan menjadi momok menakutkan. Dianggap menakutkan, karena harus menghafal (dan bisa menulis) aksara Jawa, yang sudah sangat jarang terlihat. Cuma ada sisi negatifnya juga, yaitu anak murid jadi kurang ngajeni (=menghargai) Pak Margo, sehingga muncul perbuatan ngelamak (=kurang ajar) dari murid terhadap gurunya. Misalnya saja, saat Pak Margo pulang mengendarai sepeda pancal-nya di jalan raya, murid-muridnya berlomba-lomba untuk nyorakin, sehingga kadang Pak Margo jadi kurang konsentrasi dan tertatih-taih dalam mengendarai sepedanya.

Tetapi, sesabar-sabarnya Pak Margo, pernah juga meluapkan kemarahan yang luar biasa di kelas. Ini terjadi saat aku duduk di kelas II. Saat pelajaran Bahasa Daerah, Pak Margo menanyakan kepada kami apakah sudah bisa dimengerti atau ada yang mau bertanya. Karena semua diam (tidak menghiraukan ?), Pak Margo ganti bertanya kepada kami tentang materi yang baru dijelaskan. Nah, ketika giliran Herman – mudah-mudahan aku tidak salah sebut nama – ditanya berulang-ulang tidak menjawab, malah menelungkupkan wajahnya di meja. Merasa tidak dihiraukan, Pak Margo mendekati meja Herman, yang persis di samping mejaku. Bertanya lagi, tetapi tidak dijawab oleh Herman (yang belakangan ketahuan kalau dia malah pulas tertidur!).

Dengan menahan amarahnya yang amat sangat – terlihat dari wajahnya memerah dan giginya bergemerutuk – Pak Margo dengan kekuatan penuh menggampar kepala Herman. Seluruh kelas langsung senyap, ketakutan. Tidak biasanya Pak Margo berlaku seperti itu. Herman yang terkaget (dan terbangun dari tidurnya) langsung menangis, entah takut atau kesakitan. Begitu sampai depan kelas, Pak Margo dengan suara bergetar meminta maaf atas perbuatannya, sambil mengatakan bahwa beliau tidak akan berbuat seperti itu kalau murid-muridnya tidak keterlaluan memperlakukannya.

Luar biasa! Mestinya ini pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun – termasuk kami yang saat itu ada di dalam kelas – bahwa sifat sabar bukan berarti tidak bisa marah dan boleh diperlakukan semaunya. Pak Margo telah memberikan contoh tauladan dalam bersikap sebagai seorang guru: menerangkan, menanyakan, memperingatkan, bertindak, dan meminta maaf. Ya, sebuah sikap yang harus ditunjukkan seorang guru, ketika murid-muridnya sudah (mencoba untuk) tidak menghargai gurunya sendiri!
»»  Baca Selengkapnya...

Thursday, June 10, 2010

Gara-gara AMBON, Gagal Jadi Pelajar Teladan

Entah karena memang aku pintar, atau alasan lain –bisa saja kan ?– saat duduk di bangku SD kelas V, aku ditunjuk mewakili SDN Pakisjajar I untuk mengikuti seleksi ‘Pelajar Teladan’ tingkat Kecamatan Pakis. Selama satu minggu, aku diharuskan belajar semua materi pelajaran yang pernah diajarkan sampai kelas V, bahkan Pak Irfan, kepala sekolah saat itu, memberikan buku-buku pelajaran kelas VI untuk tambahan bekal maju ke pemilihan pelajar teladan. 

Lucunya, aku sendiri saat itu merasa biasa-biasa saja, tidak dalam kondisi tertekan, stres, deg-degan, atau apapun namanya. Namanya juga anak-anak di kampung, yang ada cuma senang saja karena bisa mewakili sekolah. Padahal, kepala sekolah dan guru-guru nampak ‘berjuang keras’ mengatur strategi bagaimana caranya supaya aku bisa lolos tingkat kecamatan, supaya bisa maju ke tingkat kabupaten. Apalagi SD-ku yang berada di pusat kota kecamatan menjadi tuan rumah bagi puluhan SD lainnya di Kecamatan Pakis

Tibalah saat seleksi yang ditunggu-tunggu. Suasana di ruang kelas sungguh mencekam. Karena ruang kelas yang biasanya dihuni sampai 50 siswa, kali ini hanya berisi 22 siswa ‘pilihan’ saja, sedang di kelas sebelah juga diisi sekitar 24 siswa saja. Total ada 46 siswa yang mengikuti seleksi, dibagi dalam 2 kelas. Pengawaspun sungguh istimewa, satu ruangan bisa ada 4 sampai 6 pengawas. Entah berapa jam yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal yang ada, seingatku ada 2 kali pergantian lembar soal, yang total keseluruhan sekitar 100 soal. 

Tengah hari, sekitar jam 11 siang, seleksi tulis dinyatakan selesai. Semua soal dan jawaban langsung dibawa ke Kantor Penilik Sekolah (Kantor Dikbud Kecamatan) yang ada di seberang jalan sekolahku. Aku sudah masuk dan bermain lagi dengan teman-teman sekelasku yang nampaknya hari itu tidak ada pelajaran, dan hanya diisi dengan berdoa bersama agar aku bisa memenangi seleksi ini. Luar biasa! 

Sekitar jam 12 siang, di ruang guru – yang bersebelahan dengan ruang kelasku – tiba-tiba bersuasana gaduh, kepala sekolah dan beberapa guru yang menjadi panitia seleksi yang baru kembali dari penilaian di Kantor Dikbud nampak berdiskusi dengan suasana tegang, entah apa yang sedang dibicarakan. Setelah itu, kepala sekolah kembali ke Kantor Dikbud lagi. 

Dan 15 menit berselang, kepala sekolah kembali lagi ke sekolah dengan wajah sedikit muram dan kurang semangat. Kami, murid-murid yang masih ada di depan ruang guru langsung mendekat ke pintu. Pak Irfan – kepala sekolah – memanggilku masuk ruang guru, yang didalam sudah lengkap para guru untuk mendengarkan hasil penilaian. Sedang teman-teman sekelasku hanya bisa berkerumun, melihat (lebih tepatnya: nguping) dari pintu yang sedikit terbuka.  

Di depan para guru – dan juga aku – Pak Irfan menyampaikan seluruh proses seleksi sampai penilaian, yang nampaknya menjadi perdebatan sengit antar dewan juri penilai (dan dengan para kepala sekolah yang berkepentingan). Pokok permasalahannya, nilai yang aku dapat (wakil SDN Pakisjajar I) dengan salah seorang siswi dari SD Angkasa (Desa Saptorenggo) adalah sama. Sehingga ada pro dan kontra, antara diadu ulang: head to head, atau dinilai ulang. Dan kesepakatan mereka, opsi terakhirlah yang diambil, karena kalau diadu ulang tidak memungkinkan (siswi dari SD Angkasa sudah pulang). 

Disinilah letak ‘konflik’nya. Disalah satu pertanyaan mata pelajaran IPS tertulis: “Pahlawan Pattimura berasal dari pulau …………”. Di lembar jawabanku tertulis Ambon, sedang wakil dari SD Angkasa menulis Maluku. Para tim penilai bersikukuh bahwa Ambon adalah nama kota, sedang Maluku nama pulau/kepulauan, jadi yang benar adalah wakil SD Angkasa, yang sekaligus saat itu juga siswi tersebut dinobatkan sebagai Pelajar Teladan Tingkat Kecamatan Pakis, dan berhak maju ke tingkat Kabupaten Malang. 

Ya, kesempatan untuk menjadi Pelajar Teladan tingkat SD – yang bisa dibanggakan sekolah, para guru, orang tua dan juga teman-temanku – akhirnya sirna. Meski saat itu tidak ada rasa menyesal sedikitpun dihatiku.
»»  Baca Selengkapnya...