Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Saturday, January 29, 2011

Mas Eko, Sahabat Sekaligus Mentor Organisasi di OSIS

Bicara masalah organisasi saat sekolah – baca: OSIS – aku langsung teringat pada sosok  Mas Eko, Ketua OSIS SMA Negeri Tumpang periode 1985/1986. Eko Santoso,  begitu nama lengkapnya, sebenarnya hanyalah siswa biasa, jauh terkesan sebagai local idol yang digilai-gilai lawan jenis dan membuat iri sesame jenis (biasanya yang model gini ini, anak yang banyak gaya, sedikit punya kemampuan tertentu, wajah diatas rata-rata, tetapi biasa-biasa saja di pelajaran).

Yang membuat Eko “lebih” dari yang lain adalah selain pemain utama tim basket sekolah, otak encernya diatas rata-rata teman seangkatannya.  Pemilik tubuh tegapdengan tinggi sekitar 175 cm ini juga (kebetulan) seorang muslim taat dari etnis Chinese. Barangkali karena alas an itu pula penghuni IPA-1 ini terpilih sebagai Ketua OSIS secara aklamasi.

Satu kejadian yang bagiku paling berkesan – sehubungan pertemanan dengan Mas Eko –adalah saat mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tingkat Kabupaten Malang tahun 1985. Berkesan (sekaligus salut !) karena dengan inisiatif sendiri  Mas Eko membuat karya tulis, tanpa disuruh guru Pembina OSIS ataupun dorongan dari pihak sekolah, tetapi hanya berbekal selebaran yang dikirim kesekolah oleh panitia.

Judul yang diajukan pun saat itu sangat orisinil, yaitu (mudah-mudahan kalimatnya pas begini) : “Cara Mudah Menghitung Perkalian sampai 5 Digit dengan Menggunakan Bantuan Jari”. Karya ini termasuk dalam kategori “Temuan Baru” karena belum ada teori tertulis sebelumnya yang terpublikasi (memang sih, beberapa tahun kemudian, muncul Metode Kumon yang menurutku hampir sama dengan apa yang ditulis Mas Eko di tahun 1985. Kebetulan ?).

Disaat-saat batas akhir pengumpulan karya tulis, tanpa dinyana Mas Eko memasukkan namaku dalam tim, alasannya lomba karya tulis bukan untuk perorangan, tetapi beregu dengan jumlah minimal 2 orang. Yo wis, nolak juga nggak enak, pokok’e ikut saja. Pas minta restu (pengesahan) dari Drs. Munawar, Kepala Sekolah saat itu – hari Sabtu di penghujung bulan April sekitar jam 9 pagi, padahal batas pengumpulan jam 13.00 di Kantor Depdikbud ab. Malang – ndilalah sambutannya biasa-biasa saja, hanya disarankan minta “sangu” ke Bagian Keuangan OSIS yang saat itu dipegang Bu Runia Laksmiwati.

Dengan segala alasan, Bu Runia bisanya ngasih Rp. 650,- saja, yang hanya cukup untuk ongkos transport PP dari SMAN Tumpang ke Kantor Dikbud Kabupaten (yang kalo nggak salah saat itu di sekitar jalan ke arah Kebon Agung).

Keluar dari ruang guru, dengan lirih Mas Eko bilang, “Geng, duwik’e mek cukup digawe wong siji tok. Yok opo iki ?” Dan tanpa disangka Mas  Eko nyambung lagi, Wis pokok’e awak’e dewe kudu budal wong loro. Gak usah lewat Patimura (nama terminal Malang dahulu, red) tapi liwat kidul ae. Ayo’ wis berangkat sak iki ae !”.Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Geng, uangnya Cuma cukup dipakai satu orang saja, giman aini? Sudah, pokoknya kita tetap harus berangkat berdua. Nggak usah lewat terminal Patimura, tapi lewat selatan saja. Ayo, kita berangkat sekarang!”

Singkat cerita, kami berangkat naik mobil colt yang melewati Banjarejo, terus Kedung Kandang, dan memilih turun di sekitar Kota Lama (bayar Rp. 300,- berdua). Karena ngirit ongkos, ke kantor Dikbud jalan kaki sekitar 2 km, panas-panasan sekitar jam 12-an siang. Sampai kantor Dikbud tercatat sebagai peserta terakhir yang memasukkan naskah lomba, karena sudah sekitar jam 12.30 (eh hiya, 3 copy Karya Tulis itu semuanya diketik manual dan beberapa bagian ditulis tangan. Kayaknya belum ada yang namanya computer deh saat itu).

Begitu urusan selesai, balik ke Tumpang lewat Kota Lama lagi, jalan kaki lagi, dan jaraknya sekitar 2 km juga. Anehnya, saat itu kami berdua tidak mengeluh dan malah becanda terus di perjalanan (sambil ngrasani, koq tego yo pihak sekolah nang awak’e dewe, hehehe…). Sebelum naik colt jurusanTumpang, kami sempat berunding gimana kalo sisa uang yang Rp. 50,- dibelikan es sirup pinggir jalan saja, lumayan, dapat 2 gelas, dan sisanya Rp. 300,- untu kongkos naik colt.

Memang, akhirnya karya tulis Mas Eko (sengaja tidak aku tulis “KAMI” sebab aku memang tidak memberikan kontribusi apa-apa.  Suer!) tidak menang, bahkan untuk masuk 10 besar pun tidak diperhitungkan. Tidak ada rasa kecewa, bahkan Mas Eko membesarkan hatiku, “Gak popo Geng, sing penting awak’e dewe wis wani nyoba’  melok. Dadi iso ngukur kemampuan awak’e dewe iki sepiro disbanding sekolah liyane..!” (terjemahannya: “Nggak apa-apa Geng, yang penting kita sudah berani mencoba ikut. Jadi bisa mengukur kemampuan kita ini seberapa dibanding sekolah lainnya.”)

Bukan main, begitu legowo-nya dia, meski sebenarnya ada nada kecewa pada pihak sekolah yang kurang memberi dukungan. Dan untuk mensosialisasikan “karya” Mas Eko ke teman-teman, aku sempat memasukkan kedalam salah satu edisi Majalah Sekolah Widya Wiyata, yang kebetulan saat itu aku ikut menjadi pengelolanya.

Seiring bertambahnya waktu, setelah lulus SMA Mas Eko pernah mendaftar ke Akademi Angkatan Laut (mudah-mudahan nggak salah), tetapi gagal dalam 2 kesempatan karena faktor non-teknis. Trus, masih kalau nggak salah, mendaftar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dan, kabar terakhir Mas Eko saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Surabaya. Aku sendiri belum pernah berkomunikasi sampai saat ini. Tetapi, bagaimanapun juga, Mas Eko sudah member banyak “pelajaran” padaku, setidaknya Mas Eko-lah yang menjadi mentor pertamaku dalam belajar berorganisasi, utamanya di OSIS.


***
»»  Baca Selengkapnya...