Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Wednesday, February 2, 2011

Ajaran ‘Bertanggung Jawab’ dari Bungkus Ketupat

Bisa membuat ketupat? Ya, tepatnya ‘bungkus ketupat’ yang terbuat dari anyaman janur (itu lho, daun kelapa yang masih muda) biasanya untuk salah satu sajian wajib di hari Lebaran? Kalau tidak bisa, apalagi anda berjenis kelamin laki-laki, ya siap-siap saja kelak di akhirat ‘dihukum’ menusuki (mbithingi = bahasa Jawa) daun asam yang berukuran kecil – berukuran tidak lebih dari 1 cm -- dengan antan (alu = bahasa Jawa), alat menumbuk padi yang super besar itu.

Begitulah ‘ajaran’ yang diberikan di keluargaku saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Sehingga, mau tak mau aku harus bisa membuat ketupat sendiri, agar kelak tidak mendapat ‘siksa’ yang super berat tadi. Entahlah, apakah itu hanya menakut-nakuti supaya sejak kecil kita bisa membuat ketupat sendiri, atau memang begitu adanya, yang pasti aku terlecut belajar membuat ketupat saat menginjak usia 9 tahun.

Aku belajar membuat ketupat dari Mak Pan – ini nama familiku yang sudah ‘mengabdikan’ diri di keluargaku sejak aku baru usia balita – yang saat itu masih berusia 20-an tahun. Meski dipanggil Mak Pan, sebenarnya beliau ini laki-laki tulen, yang bernama Kaspan. Panggilan Mak adalah dari kata ‘Pamak’ atau ‘Paman’ dalam tradisi Jawa. Jadi sebenarnya adalah Paman Kaspan yang disingkat jadi Mak Pan. Seingatku, saat itu aku belajar membuat ketupat bersama-sama dengan Mbak Anda (kakakku) dan Sri (adikku). Tidak memerlukan waktu lama, setelah hampir 2 jam belajar, aku sudah bisa membuat ketupat sendiri.

Oh hiya, tradisi Lebaran Ketupat di desaku sama ramainya dengan suasana Lebaran di hari pertama. Lebaran Ketupat biasanya diadakan satu minggu setelah Lebaran 1 Syawal. Selain (hampir) semua rumah membuat ketupat secara serentak, biasanya siang sampai malam harinya saling antar ketupat dengan tetangga-tetangga dan sanak saudara yang jauh sekalipun. Sehabis sholat Ashar sampai malam, bergantian dari rumah ke rumah saling mengundang untuk kenduren (=kendurian). Sunggu sehari yang penuh kesibukan, selain penuh makanan ketupat dan sejenisnya.

Satu hal yang menurutku penuh dengan makna, sebenarnya bukan dari suasana dari Lebaran Ketupat itu. Melainkan ‘ajaran’ bahwa anak laki-laki harus bisa membuat ketupat, kalau tidak pasti kelak akan mendapat ‘siksa’. Ini menurutku bermakna luas. Pertama, sudah sewajarnya anak laki-laki harus bisa mengerjakan hal-hal yang (kelak) akan menjadi tanggung jawabnya, yaitu membuat ketupat untuk keluarganya. Kedua, membuat ketupat (mulai dari mencari janur, dan seterusnya) tentulah pekerjaan kaum lelaki, sehingga sejak kecil harus diajarkan bahwa membuat ketupat adalah tugas seorang lelaki.

Apapun itu, sampai kelak aku sudah dewasa dan berkeluarga, sebisa mungkin aku membuat sendiri ketupat untuk keluargaku setiap Lebaran tiba. Walaupun, pada jaman yang semakin maju ini, sudah banyak dijual bungkus ketupat siap pakai di pasar-pasar tradisional. Tentu bukan masalah ribet atau praktisnya, tetapi ‘ajaran’ bahwa seorang laki-laki haruslah bertanggung jawab – untuk urusan apapun – pada keluarganya, itu yang harus tetap dijunjung tinggi!
»»  Baca Selengkapnya...