Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Saturday, April 9, 2011

Lomba Mengarang, Bukti Kalau Aku Bisa Menulis

Sebesar apapun bakat yang dimiliki seseorang, kalau tidak dikembangkan dan dibina dengan baik dalam wadah yang benar, pasti akan bersifat mubadzir dan sia-sia belaka. Barangkali ungkapan itulah yang bisa mewakili apa yang terjadi pada diriku. Benar, sejak masih di sekolah dasar, aku sudah mempunyai bakat menulis dan mengarang. Bahkan sudah ada satu tulisan pendek karyaku yang dimuat di salah satu majalah anak-anak terbitan Jakarta. Dan juga beberapa kali ikut lomba mengarang tingkat SD di sekolahku.

Tetapi, ajang lomba – dan pembuktian bahwa aku memang mempunyai bakat menulis – yang sebenarnya, adalah saat duduk di bangku SMP kelas 2. Waktu itu, dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda, diadakan beberapa mata lomba, yang wajib diikuti perwakilan setiap kelas, mulai kelas 1 sampai kelas 3. Untuk wakil kelasku, aku ditunjuk oleh Bu Rimamik (wali kelasku saat itu) untuk ikut lomba mengarang. Entah, apa alasannya kenapa harus aku yang ikut lomba mengarang, apakah karena tulisanku yang bagus atau karena apa, aku tidak pernah menanyakan.

Singkat cerita, aku berlomba bersama 38 siswa lainnya dalam 2 ruang kelas yang berbeda, dengan waktu yang diberikan 150 menit. Lucunya, aku pikir lomba mengarang ini dikerjakan di rumah, jadi malam sebelum lomba aku sudah membuat karangan dengan tema ‘pahlawan dalam era kemerdekaan’ dalam 4 halaman kertas buku tulis. Maksudku, pas hari-H aku tinggal mengumpulkan saja. Ternyata beda, karangan harus dibuat langsung di sekolah dengan waktu 2,5 jam tadi.

The show must go on, aku membuat (menulis ?) lagi karangan dengan tema sama dengan yang sudah aku buat, sebelum memulai lomba aku sempatkan membaca karangan yang sudah aku buat malam sebelumnya. Aku pikir tentu ini bukan perbuatan ‘salah’ karena yang aku lihat ya hasil karanganku sendiri. Beda permasalahannya kalau yang aku lihat adalah hasil tulisan orang lain, tentu ini sudah masuk kategori plagiat.

Sedikit gambaran, yang aku ceritakan dalam tulisanku adalah perjuanganku dalam lomba halang rintang saat mengikuti perkemahan Pramuka tingkat SD se kecamatan Pakis (baca tulisan: Terlatih Jadi Pemimpin untuk Pertama Kalinya). Saat menyeberangi sungai, kakiku terkilir dan terasa sakit banget, tapi aku memaksakan terus mengikuti lomba sampai selesai. Karena sebagai ketua regu, aku tidak boleh meninggalkan anak buah. Aku harus bertanggung jawab terhadap reguku, meski jalan dengan terpincang-pincang menahan rasa sakit. Aku mengibaratkan, itu sama halnya dengan sebuah perjuangan yang dilakukan Jenderal Soedirman saat perang gerilya melawan Belanda. Dalam kondisi sakit, Beliau tetap berada di tengah pasukannya.

Terus terang, aku tidak pernah ‘bermimpi’ menang dalam lomba mengarang seperti ini. Dengan sifat pendiam dan (sedikit) tertutup, aku sebenarnya lebih asyik dengan apa yang aku kerjakan. Itulah sebabnya, ketika saat pengumuman pemenang lomba – bertepatan dengan upacara bendera hari Senin – namaku disebut sebagai pemenang ke-2 Lomba Mengarang, aku kaget dan gemetaran, bahkan diledek teman-teman karena kebengonganku saat disuruh maju ke depan untuk menerima hadiah. Aku juga tidak pernah menyesal karena hanya juara 2, karena sebagai juara 1 saat itu adalah Mbak Ida Maghfuroh, siswi kelas 3, yang memang dikenal mempunyai kepandaian diatas rata-rata temannya.

Setelah menang lomba, memang ada kegairahan untuk menulis. Hadiah berupa 5 buah buku tulis tebal, awalnya aku rencanakan untuk membuat tulisan (karangan) dan catatan harian. Tapi hanya berjalan beberapa hari semata. Selanjutnya, aku menjadi diriku yang pendiam dan asyik dengan keinginanku sendiri. Ya, aku masih masa pancaroba, mencari jatidiri, belum pernah terpikirkan bahwa menulis itu – ternyata – bisa menjadi pekerjaan atau mata pencaharian di kelak kemudian hari.
»»  Baca Selengkapnya...

Tuesday, March 29, 2011

Ketika Rembulan dan Matahari Ada di Kelasku

Memasuki kelas 2 SMP, adalah saat adaptasi (kembali) dengan teman-teman baru. Karena yang tadinya di kelas 1 – yang rata-rata berjumlah 40 siswa – masih menjadi teman sekelas, saat naik kelas 2 diacak kembali. Ya, saat kelas 1 di SMP-ku ada 10 kelas, maka saat kelas 2 tiap kelas adalah gabungan 4-5 orang dari kelas yang berbeda saat kelas 1. Menyenangkan juga sih, karena selain mendapat teman ‘baru’ dari kelas lain, persaingan memperebutkan rangking kelas juga lebih kompetitif.

Tetapi yang cukup menarik – dan ini sering menjadi candaan guru maupun teman-teman – di kelas 2 ini aku punya teman yang namanya Qomariyah dan Samsiyah, dua-duanya perempuan. Menarik, karena secara kebetulan arti 2 nama temanku tersebut adalah Rembulan (=Qomariyah) dan Matahari (=Samsiyah). Lebih menarik lagi, seperti sifat rembulan dan matahari, Qomariyah dan Samsiyah mempunyai sifat bertolak belakang. Qomariyah terkesan pendiam, berambut ombak sebahu, berkulit kuning langsat dan bicaranya tidak begitu keras. Sedang Samsiyah lebih enerjik, berkulit putih dan terkesan cerewet, serta bersuara cempreng. Rambutnya dipotong pendek dengan style Lady Diana.

Kalau mau dideskripsikan lebih detail lagi, Qomariyah adalah tipikal remaja kampung pada umumnya – bisa jadi terkesan dari pelosok, karena jarak sekolah ke rumahnya saja lebih dari 15 km – yang  selalu berpenampilan sederhana. Dengan tinggi badan yang tak lebih dari 150 cm, Qomariyah lebih terkesan agak gemuk. Sedangkan Samsiyah lebih berpenampilan trendy, dan kelihatan kalau datang dari keluarga berada, karena orangtuanya memang juragan penggilingan padi di desanya. Badannya yang langsing dengan tinggi badan ideal, membuat para siswa laki-laki di SMP-ku banyak yang ‘kagum’ saat melihatnya. Apalagi Samsiyah menjadi salah satu dari beberapa siswa – bisa dihitung dengan jari – yang  ke sekolah menggunakan sepeda motor, sementara siswa lainnya menggunakan sepeda pancal, jalan kaki ataupun naik angkutan umum desa.

Nah, meski bertolak belakang, ada satu hal yang membuat Qomariyah dan Samsiyah terasa ‘kompak’ di kelas, yaitu keduanya sama-sama masuk kategori (maaf!) tidak pandai, bahkan untuk nilai ulangan harianpun selalu dibawah rata-rata kelas. Aku sendiri kurang faham, kenapa rata-rata siswa perempuan yang datang dari pelosok desa selalu masuk kategori kurang pandai. Apakah mereka memang ‘menjalani’ sekolah hanya sekedar formalitas untuk ‘status’ saja – sambil menunggu umur cukup untuk menikah, jadi tidak punya motivasi untuk belajar giat dan harus pintar – ataukah memang masuk jenjang SMP sudah dianggap cukup tinggi, yang pada akhirnya setelah lulus toh langsung menikah juga, agar tidak masuk kategori perawan tua yang tidak laku.

Yang pasti, ada kejadian yang menarik – dan agak konyol ? – yang berhubungan dengan dua orang temanku ini. Yaitu pada saat pelajaran Biologi yang mengambil tempat di ruang laboratorium IPA. Karena satu Bab pokok bahasan sudah selesai, Pak Gatot Sutjipto (guru Biologi) memutuskan untuk ulangan. Celakanya, ini bagi teman-teman yang nggak siap ulangan, Pak Gatot mengacak tempat duduk kami. Satu meja panjang & besar laboratorium dipakai untuk 4 siswa, dengan duduk selang-seling siswa laki-laki dan perempuan. Aku kebagian duduk di meja sebelah kanan nomor 3 dari depan, dengan posisi duduk sebelah kiriku Qomariyah dan sebelah kanan Samsiyah, serta paling ujung kanan Wahyu Sardono.

Nah, saat 20 menit terakhir dipakai untuk koreksi bersama, muncul ‘kejutan’ dari nilai-nilai yang langsung dibacakan Pak Gatot. Aku mendapatkan nilai 84. Sedang 3 teman sebangkuku, mendapat nilai diatas 60-an. Qomariyah 65, Samsiyah 72, Wahyu Sardono 76. Suasana jadi ramai di ruang laboratorium, karena menurut teman-teman ada yang aneh dengan 2 teman sebangkuku, mana mungkin Qomariyah dan Samsiyah bisa mendapat nilai sebesar itu (apalagi ini pelajaran Biologi!), karena biasanya hanya mendapat nilai maksimal tak lebih dari 30-an.

Kasarnya, pasti mereka berdua mencontek ke aku – dan kenyataannya memang hiya, hehehe – apalagi aku tipikal siswa pendiam dan pemalu, sehingga tidak bisa menolak kalau ada yang minta bantuan, termasuk contekan sekalipun. Untungnya Pak Gatot tidak mempermasalahkan hal ini. Cuma untuk ulangan-ulangan berikutnya aku sudah tidak pernah lagi didudukkan sebangku dengan Qomariyah dan Samsiyah.


Memang, masih ada cerita-cerita lucu yang berhubungan dengan kedua temanku itu, tetapi lebih pada kejadian keseharian di kelas, yang bisa jadi dialami siapa saja saat masih duduk di bangku sekolah SMP. Meski nilai dibawah rata-rata, syukurnya Qomariyah dan Samsiyah tetap naik kelas dan lulus dari SMP, tanpa pernah tinggal kelas. Dan memang, seperti yang aku duga semula, kabar yang beredar Qomariyah dan Samsiyah dijodohkan orang tuanya begitu lulus SMP. Sebuah tradisi yang sulit untuk dikikis!
»»  Baca Selengkapnya...

Wednesday, February 2, 2011

Ajaran ‘Bertanggung Jawab’ dari Bungkus Ketupat

Bisa membuat ketupat? Ya, tepatnya ‘bungkus ketupat’ yang terbuat dari anyaman janur (itu lho, daun kelapa yang masih muda) biasanya untuk salah satu sajian wajib di hari Lebaran? Kalau tidak bisa, apalagi anda berjenis kelamin laki-laki, ya siap-siap saja kelak di akhirat ‘dihukum’ menusuki (mbithingi = bahasa Jawa) daun asam yang berukuran kecil – berukuran tidak lebih dari 1 cm -- dengan antan (alu = bahasa Jawa), alat menumbuk padi yang super besar itu.

Begitulah ‘ajaran’ yang diberikan di keluargaku saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SD. Sehingga, mau tak mau aku harus bisa membuat ketupat sendiri, agar kelak tidak mendapat ‘siksa’ yang super berat tadi. Entahlah, apakah itu hanya menakut-nakuti supaya sejak kecil kita bisa membuat ketupat sendiri, atau memang begitu adanya, yang pasti aku terlecut belajar membuat ketupat saat menginjak usia 9 tahun.

Aku belajar membuat ketupat dari Mak Pan – ini nama familiku yang sudah ‘mengabdikan’ diri di keluargaku sejak aku baru usia balita – yang saat itu masih berusia 20-an tahun. Meski dipanggil Mak Pan, sebenarnya beliau ini laki-laki tulen, yang bernama Kaspan. Panggilan Mak adalah dari kata ‘Pamak’ atau ‘Paman’ dalam tradisi Jawa. Jadi sebenarnya adalah Paman Kaspan yang disingkat jadi Mak Pan. Seingatku, saat itu aku belajar membuat ketupat bersama-sama dengan Mbak Anda (kakakku) dan Sri (adikku). Tidak memerlukan waktu lama, setelah hampir 2 jam belajar, aku sudah bisa membuat ketupat sendiri.

Oh hiya, tradisi Lebaran Ketupat di desaku sama ramainya dengan suasana Lebaran di hari pertama. Lebaran Ketupat biasanya diadakan satu minggu setelah Lebaran 1 Syawal. Selain (hampir) semua rumah membuat ketupat secara serentak, biasanya siang sampai malam harinya saling antar ketupat dengan tetangga-tetangga dan sanak saudara yang jauh sekalipun. Sehabis sholat Ashar sampai malam, bergantian dari rumah ke rumah saling mengundang untuk kenduren (=kendurian). Sunggu sehari yang penuh kesibukan, selain penuh makanan ketupat dan sejenisnya.

Satu hal yang menurutku penuh dengan makna, sebenarnya bukan dari suasana dari Lebaran Ketupat itu. Melainkan ‘ajaran’ bahwa anak laki-laki harus bisa membuat ketupat, kalau tidak pasti kelak akan mendapat ‘siksa’. Ini menurutku bermakna luas. Pertama, sudah sewajarnya anak laki-laki harus bisa mengerjakan hal-hal yang (kelak) akan menjadi tanggung jawabnya, yaitu membuat ketupat untuk keluarganya. Kedua, membuat ketupat (mulai dari mencari janur, dan seterusnya) tentulah pekerjaan kaum lelaki, sehingga sejak kecil harus diajarkan bahwa membuat ketupat adalah tugas seorang lelaki.

Apapun itu, sampai kelak aku sudah dewasa dan berkeluarga, sebisa mungkin aku membuat sendiri ketupat untuk keluargaku setiap Lebaran tiba. Walaupun, pada jaman yang semakin maju ini, sudah banyak dijual bungkus ketupat siap pakai di pasar-pasar tradisional. Tentu bukan masalah ribet atau praktisnya, tetapi ‘ajaran’ bahwa seorang laki-laki haruslah bertanggung jawab – untuk urusan apapun – pada keluarganya, itu yang harus tetap dijunjung tinggi!
»»  Baca Selengkapnya...

Saturday, January 29, 2011

Mas Eko, Sahabat Sekaligus Mentor Organisasi di OSIS

Bicara masalah organisasi saat sekolah – baca: OSIS – aku langsung teringat pada sosok  Mas Eko, Ketua OSIS SMA Negeri Tumpang periode 1985/1986. Eko Santoso,  begitu nama lengkapnya, sebenarnya hanyalah siswa biasa, jauh terkesan sebagai local idol yang digilai-gilai lawan jenis dan membuat iri sesame jenis (biasanya yang model gini ini, anak yang banyak gaya, sedikit punya kemampuan tertentu, wajah diatas rata-rata, tetapi biasa-biasa saja di pelajaran).

Yang membuat Eko “lebih” dari yang lain adalah selain pemain utama tim basket sekolah, otak encernya diatas rata-rata teman seangkatannya.  Pemilik tubuh tegapdengan tinggi sekitar 175 cm ini juga (kebetulan) seorang muslim taat dari etnis Chinese. Barangkali karena alas an itu pula penghuni IPA-1 ini terpilih sebagai Ketua OSIS secara aklamasi.

Satu kejadian yang bagiku paling berkesan – sehubungan pertemanan dengan Mas Eko –adalah saat mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tingkat Kabupaten Malang tahun 1985. Berkesan (sekaligus salut !) karena dengan inisiatif sendiri  Mas Eko membuat karya tulis, tanpa disuruh guru Pembina OSIS ataupun dorongan dari pihak sekolah, tetapi hanya berbekal selebaran yang dikirim kesekolah oleh panitia.

Judul yang diajukan pun saat itu sangat orisinil, yaitu (mudah-mudahan kalimatnya pas begini) : “Cara Mudah Menghitung Perkalian sampai 5 Digit dengan Menggunakan Bantuan Jari”. Karya ini termasuk dalam kategori “Temuan Baru” karena belum ada teori tertulis sebelumnya yang terpublikasi (memang sih, beberapa tahun kemudian, muncul Metode Kumon yang menurutku hampir sama dengan apa yang ditulis Mas Eko di tahun 1985. Kebetulan ?).

Disaat-saat batas akhir pengumpulan karya tulis, tanpa dinyana Mas Eko memasukkan namaku dalam tim, alasannya lomba karya tulis bukan untuk perorangan, tetapi beregu dengan jumlah minimal 2 orang. Yo wis, nolak juga nggak enak, pokok’e ikut saja. Pas minta restu (pengesahan) dari Drs. Munawar, Kepala Sekolah saat itu – hari Sabtu di penghujung bulan April sekitar jam 9 pagi, padahal batas pengumpulan jam 13.00 di Kantor Depdikbud ab. Malang – ndilalah sambutannya biasa-biasa saja, hanya disarankan minta “sangu” ke Bagian Keuangan OSIS yang saat itu dipegang Bu Runia Laksmiwati.

Dengan segala alasan, Bu Runia bisanya ngasih Rp. 650,- saja, yang hanya cukup untuk ongkos transport PP dari SMAN Tumpang ke Kantor Dikbud Kabupaten (yang kalo nggak salah saat itu di sekitar jalan ke arah Kebon Agung).

Keluar dari ruang guru, dengan lirih Mas Eko bilang, “Geng, duwik’e mek cukup digawe wong siji tok. Yok opo iki ?” Dan tanpa disangka Mas  Eko nyambung lagi, Wis pokok’e awak’e dewe kudu budal wong loro. Gak usah lewat Patimura (nama terminal Malang dahulu, red) tapi liwat kidul ae. Ayo’ wis berangkat sak iki ae !”.Kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, “Geng, uangnya Cuma cukup dipakai satu orang saja, giman aini? Sudah, pokoknya kita tetap harus berangkat berdua. Nggak usah lewat terminal Patimura, tapi lewat selatan saja. Ayo, kita berangkat sekarang!”

Singkat cerita, kami berangkat naik mobil colt yang melewati Banjarejo, terus Kedung Kandang, dan memilih turun di sekitar Kota Lama (bayar Rp. 300,- berdua). Karena ngirit ongkos, ke kantor Dikbud jalan kaki sekitar 2 km, panas-panasan sekitar jam 12-an siang. Sampai kantor Dikbud tercatat sebagai peserta terakhir yang memasukkan naskah lomba, karena sudah sekitar jam 12.30 (eh hiya, 3 copy Karya Tulis itu semuanya diketik manual dan beberapa bagian ditulis tangan. Kayaknya belum ada yang namanya computer deh saat itu).

Begitu urusan selesai, balik ke Tumpang lewat Kota Lama lagi, jalan kaki lagi, dan jaraknya sekitar 2 km juga. Anehnya, saat itu kami berdua tidak mengeluh dan malah becanda terus di perjalanan (sambil ngrasani, koq tego yo pihak sekolah nang awak’e dewe, hehehe…). Sebelum naik colt jurusanTumpang, kami sempat berunding gimana kalo sisa uang yang Rp. 50,- dibelikan es sirup pinggir jalan saja, lumayan, dapat 2 gelas, dan sisanya Rp. 300,- untu kongkos naik colt.

Memang, akhirnya karya tulis Mas Eko (sengaja tidak aku tulis “KAMI” sebab aku memang tidak memberikan kontribusi apa-apa.  Suer!) tidak menang, bahkan untuk masuk 10 besar pun tidak diperhitungkan. Tidak ada rasa kecewa, bahkan Mas Eko membesarkan hatiku, “Gak popo Geng, sing penting awak’e dewe wis wani nyoba’  melok. Dadi iso ngukur kemampuan awak’e dewe iki sepiro disbanding sekolah liyane..!” (terjemahannya: “Nggak apa-apa Geng, yang penting kita sudah berani mencoba ikut. Jadi bisa mengukur kemampuan kita ini seberapa dibanding sekolah lainnya.”)

Bukan main, begitu legowo-nya dia, meski sebenarnya ada nada kecewa pada pihak sekolah yang kurang memberi dukungan. Dan untuk mensosialisasikan “karya” Mas Eko ke teman-teman, aku sempat memasukkan kedalam salah satu edisi Majalah Sekolah Widya Wiyata, yang kebetulan saat itu aku ikut menjadi pengelolanya.

Seiring bertambahnya waktu, setelah lulus SMA Mas Eko pernah mendaftar ke Akademi Angkatan Laut (mudah-mudahan nggak salah), tetapi gagal dalam 2 kesempatan karena faktor non-teknis. Trus, masih kalau nggak salah, mendaftar di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Dan, kabar terakhir Mas Eko saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Surabaya. Aku sendiri belum pernah berkomunikasi sampai saat ini. Tetapi, bagaimanapun juga, Mas Eko sudah member banyak “pelajaran” padaku, setidaknya Mas Eko-lah yang menjadi mentor pertamaku dalam belajar berorganisasi, utamanya di OSIS.


***
»»  Baca Selengkapnya...