Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Tuesday, March 29, 2011

Ketika Rembulan dan Matahari Ada di Kelasku

Memasuki kelas 2 SMP, adalah saat adaptasi (kembali) dengan teman-teman baru. Karena yang tadinya di kelas 1 – yang rata-rata berjumlah 40 siswa – masih menjadi teman sekelas, saat naik kelas 2 diacak kembali. Ya, saat kelas 1 di SMP-ku ada 10 kelas, maka saat kelas 2 tiap kelas adalah gabungan 4-5 orang dari kelas yang berbeda saat kelas 1. Menyenangkan juga sih, karena selain mendapat teman ‘baru’ dari kelas lain, persaingan memperebutkan rangking kelas juga lebih kompetitif.

Tetapi yang cukup menarik – dan ini sering menjadi candaan guru maupun teman-teman – di kelas 2 ini aku punya teman yang namanya Qomariyah dan Samsiyah, dua-duanya perempuan. Menarik, karena secara kebetulan arti 2 nama temanku tersebut adalah Rembulan (=Qomariyah) dan Matahari (=Samsiyah). Lebih menarik lagi, seperti sifat rembulan dan matahari, Qomariyah dan Samsiyah mempunyai sifat bertolak belakang. Qomariyah terkesan pendiam, berambut ombak sebahu, berkulit kuning langsat dan bicaranya tidak begitu keras. Sedang Samsiyah lebih enerjik, berkulit putih dan terkesan cerewet, serta bersuara cempreng. Rambutnya dipotong pendek dengan style Lady Diana.

Kalau mau dideskripsikan lebih detail lagi, Qomariyah adalah tipikal remaja kampung pada umumnya – bisa jadi terkesan dari pelosok, karena jarak sekolah ke rumahnya saja lebih dari 15 km – yang  selalu berpenampilan sederhana. Dengan tinggi badan yang tak lebih dari 150 cm, Qomariyah lebih terkesan agak gemuk. Sedangkan Samsiyah lebih berpenampilan trendy, dan kelihatan kalau datang dari keluarga berada, karena orangtuanya memang juragan penggilingan padi di desanya. Badannya yang langsing dengan tinggi badan ideal, membuat para siswa laki-laki di SMP-ku banyak yang ‘kagum’ saat melihatnya. Apalagi Samsiyah menjadi salah satu dari beberapa siswa – bisa dihitung dengan jari – yang  ke sekolah menggunakan sepeda motor, sementara siswa lainnya menggunakan sepeda pancal, jalan kaki ataupun naik angkutan umum desa.

Nah, meski bertolak belakang, ada satu hal yang membuat Qomariyah dan Samsiyah terasa ‘kompak’ di kelas, yaitu keduanya sama-sama masuk kategori (maaf!) tidak pandai, bahkan untuk nilai ulangan harianpun selalu dibawah rata-rata kelas. Aku sendiri kurang faham, kenapa rata-rata siswa perempuan yang datang dari pelosok desa selalu masuk kategori kurang pandai. Apakah mereka memang ‘menjalani’ sekolah hanya sekedar formalitas untuk ‘status’ saja – sambil menunggu umur cukup untuk menikah, jadi tidak punya motivasi untuk belajar giat dan harus pintar – ataukah memang masuk jenjang SMP sudah dianggap cukup tinggi, yang pada akhirnya setelah lulus toh langsung menikah juga, agar tidak masuk kategori perawan tua yang tidak laku.

Yang pasti, ada kejadian yang menarik – dan agak konyol ? – yang berhubungan dengan dua orang temanku ini. Yaitu pada saat pelajaran Biologi yang mengambil tempat di ruang laboratorium IPA. Karena satu Bab pokok bahasan sudah selesai, Pak Gatot Sutjipto (guru Biologi) memutuskan untuk ulangan. Celakanya, ini bagi teman-teman yang nggak siap ulangan, Pak Gatot mengacak tempat duduk kami. Satu meja panjang & besar laboratorium dipakai untuk 4 siswa, dengan duduk selang-seling siswa laki-laki dan perempuan. Aku kebagian duduk di meja sebelah kanan nomor 3 dari depan, dengan posisi duduk sebelah kiriku Qomariyah dan sebelah kanan Samsiyah, serta paling ujung kanan Wahyu Sardono.

Nah, saat 20 menit terakhir dipakai untuk koreksi bersama, muncul ‘kejutan’ dari nilai-nilai yang langsung dibacakan Pak Gatot. Aku mendapatkan nilai 84. Sedang 3 teman sebangkuku, mendapat nilai diatas 60-an. Qomariyah 65, Samsiyah 72, Wahyu Sardono 76. Suasana jadi ramai di ruang laboratorium, karena menurut teman-teman ada yang aneh dengan 2 teman sebangkuku, mana mungkin Qomariyah dan Samsiyah bisa mendapat nilai sebesar itu (apalagi ini pelajaran Biologi!), karena biasanya hanya mendapat nilai maksimal tak lebih dari 30-an.

Kasarnya, pasti mereka berdua mencontek ke aku – dan kenyataannya memang hiya, hehehe – apalagi aku tipikal siswa pendiam dan pemalu, sehingga tidak bisa menolak kalau ada yang minta bantuan, termasuk contekan sekalipun. Untungnya Pak Gatot tidak mempermasalahkan hal ini. Cuma untuk ulangan-ulangan berikutnya aku sudah tidak pernah lagi didudukkan sebangku dengan Qomariyah dan Samsiyah.


Memang, masih ada cerita-cerita lucu yang berhubungan dengan kedua temanku itu, tetapi lebih pada kejadian keseharian di kelas, yang bisa jadi dialami siapa saja saat masih duduk di bangku sekolah SMP. Meski nilai dibawah rata-rata, syukurnya Qomariyah dan Samsiyah tetap naik kelas dan lulus dari SMP, tanpa pernah tinggal kelas. Dan memang, seperti yang aku duga semula, kabar yang beredar Qomariyah dan Samsiyah dijodohkan orang tuanya begitu lulus SMP. Sebuah tradisi yang sulit untuk dikikis!
»»  Baca Selengkapnya...