Meski
William Shakespeare mengatakan "What's In a Name", tetapi
sebuah nama tetap saja punya sejarah tersendiri, entah bagi yang memberi maupun
yang punya nama itu sendiri. Bahkan, nama pemberian orang tua itu adalah (mengandung)
doa, begitu kata Ustadz Abdurrahman – ini nama Ustadz yang menjadi Ketua DKM di
Masjid Adz Dzakirin, Perumahan Grand Harmony, tempat tinggalku – setiap aku
mengikuti selamatan aqiqah di kompleks perumahan. Seperti namaku misalnya,
Sugeng Pribadi. Sugeng artinya selamat, Pribadi artinya diri-sendiri. Jadi
orang tuaku memberi nama yang mengandung doa: agar diriku tetap selamat dunia
akhirat, sampai akhir jaman, amiiiin.
Nah,
hubungannya dengan nama Mas Prie apa? Kan wajar saja nama Sugeng Pribadi dipanggil
dengan Mas Prie, nggak ada yang aneh tuh ?
Ya benar,
wajar-wajar saja. Cuma, sebenarnya – dulunya, awalnya, asal mulanya, haiyaaaah…
– nggak ada yang manggil aku dengan sebutan itu. Nama Mas Prie adalah nama “samaran”
saat aku masih mengelola majalah sekolah di jaman SMA. Nama majalahnya Widya
Wiyata. Karena nggak nyaman juga menulis nama asli di setiap tulisan yang aku
buat, setidaknya niru-niru di majalah terkenal yang di setiap akhir sebuah
artikel dimunculkan nama inisial penulisnya atau samaran, semisal: Ars,
Satmowie, Boim, Den Sastro, Dwie Koen, dan seterusnya.
Uniknya,
karena aku hidup sebagai ABG tahun 80-an, cara penulisan nama – atau apapun
juga – juga memakai style yang lagi popular jaman itu. Entah darimana asal
mulanya, yang pasti hampir semua remaja (khususnya di Malang) mempunyai style
yang sama. Misalnya mau menulis kelompok atau komunitasnya yang bernama “selebor”
pasti ditulisnya Zhelebhour, menulis kota “Tumpang” menjadi Thoempank, bahkan
nama “Sugeng” pun biasa ditulis zhoegenk.
Jadi, saat
memilih nama samaran untuk jadi penulis di majalah sekolah, aku memakai nama must
prie. Yaaaa.., biar agak kelihatan kebarat-baratan dan bau-bau bahasa Inggris
gitu. Bandingkan dengan ABG di jaman sekarang, yang untuk menulis namanya saja –
di facebook, blackberry, sms ataupun pembicaraan sehari-hari – pakai style kemanja-manjaan
seperti bayi cadel, ciyus nih…, nggak percaya? Atau, contoh lain, di awal tahun
2000-an, para ABG menulis apa saja dengan menggunakan huruf dan abjad acak,
besar (capital) kadang juga kecil. BaNyAk jUgA SiH cOntOhnYa, tapi nggak perlulah
aku tulis disini.
Kembali ke topik
bahasan. Awalnya sukses sih, hanya teman-teman pengelola majalah sekolah dan
pengurus OSIS saja yang tau kalau must prie itu aku. Memang nggak bertahan
lama. Habis berapa besar sih luas SMA Negeri 1 Tumpang – ini nama sekolahku –
yang cuma diisi sekitar 900 siswa, hanya untuk mencari sosok misterius bernama must
prie? Hehehe….. Cuma, selain senang karena
akhirnya aku dikenal (dan dipanggil) sebagai Mas Prie, sebagian lagi masih ada
yang memanggil dengan bacaan yang “sempurna” yaitu: mus priye (sesuai tulisannya:
must prie), celaka memang.
Dalam
perjalanan waktu, nama PRIE – tidak lagi memakai kata MAS didepannya – yang menjadi
identitas di setiap tulisanku, entah di media cetak, di koran dan majalah kampus,
di tabloid tempat aku pernah menjadi reporter, di blog, ataupun identitas
kepenulisan lainnya. Bahkan tanda tanganku pun, kalau dilihat dengan seksama
akan terbaca PRIE. Kalau toh sampai sekarang masih ada yang memanggil Mas Prie,
yang nggak apa-apa, lha memang itu namaku.
Cuma, kalau
di tempat aku bekerja, nama itu nggak dipakai, karena memang di dunia kerja
lebih formal dengan memakai nama asli. Satu pengalaman menggelikan, pernah ada
teman sekolah, yang telepon ke kantorku dan ‘maksa’ ingin bicara dengan Pak
Prie yang kerja di Mustika Ratu, ya semua – baik operator sampai teman-teman kerja – nggak ada
yang tau. Untungnya ada teman kantor yang inisiatif tanya, memangnya Pak Prie
itu asalnya dari mana ? Ketika dijawab dari Malang, terkuaklah siapa gerangan
yang dicari penelepon itu, siapa lagi kalau bukan aku, yaitu Must Prie, eeeh…
Sugeng Pribadi.