Memasuki kelas 2 SMP, adalah saat adaptasi
(kembali) dengan teman-teman baru. Karena yang tadinya di kelas 1 – yang
rata-rata berjumlah 40 siswa – masih menjadi teman sekelas, saat naik kelas 2
diacak kembali. Ya, saat kelas 1 di SMP-ku ada 10 kelas, maka saat kelas 2 tiap
kelas adalah gabungan 4-5 orang dari kelas yang berbeda saat kelas 1.
Menyenangkan juga sih, karena selain mendapat teman ‘baru’ dari kelas lain,
persaingan memperebutkan rangking kelas juga lebih kompetitif.
Tetapi yang cukup menarik – dan ini sering
menjadi candaan guru maupun teman-teman – di kelas 2 ini aku punya teman yang
namanya Qomariyah dan Samsiyah, dua-duanya perempuan. Menarik, karena secara
kebetulan arti 2 nama temanku tersebut adalah Rembulan (=Qomariyah) dan
Matahari (=Samsiyah). Lebih menarik lagi, seperti sifat rembulan dan matahari,
Qomariyah dan Samsiyah mempunyai sifat bertolak belakang. Qomariyah terkesan
pendiam, berambut ombak sebahu, berkulit kuning langsat dan bicaranya tidak
begitu keras. Sedang Samsiyah lebih enerjik, berkulit putih dan terkesan
cerewet, serta bersuara cempreng. Rambutnya dipotong pendek dengan style Lady Diana.
Kalau mau dideskripsikan lebih detail lagi,
Qomariyah adalah tipikal remaja kampung pada umumnya – bisa jadi terkesan dari pelosok,
karena jarak sekolah ke rumahnya saja lebih dari 15 km – yang selalu berpenampilan sederhana. Dengan tinggi
badan yang tak lebih dari 150 cm, Qomariyah lebih terkesan agak gemuk.
Sedangkan Samsiyah lebih berpenampilan trendy, dan kelihatan kalau datang dari
keluarga berada, karena orangtuanya memang juragan penggilingan padi di
desanya. Badannya yang langsing dengan tinggi badan ideal, membuat para siswa
laki-laki di SMP-ku banyak yang ‘kagum’ saat melihatnya. Apalagi Samsiyah
menjadi salah satu dari beberapa siswa – bisa dihitung dengan jari – yang ke sekolah menggunakan sepeda motor, sementara
siswa lainnya menggunakan sepeda pancal, jalan kaki ataupun naik angkutan umum
desa.
Nah, meski bertolak belakang, ada satu hal yang
membuat Qomariyah dan Samsiyah terasa ‘kompak’ di kelas, yaitu keduanya
sama-sama masuk kategori (maaf!) tidak pandai, bahkan untuk nilai ulangan
harianpun selalu dibawah rata-rata kelas. Aku sendiri kurang faham, kenapa
rata-rata siswa perempuan yang datang dari pelosok desa selalu masuk kategori kurang
pandai. Apakah mereka memang ‘menjalani’ sekolah hanya sekedar formalitas untuk
‘status’ saja – sambil menunggu umur cukup untuk menikah, jadi tidak punya
motivasi untuk belajar giat dan harus pintar – ataukah memang masuk jenjang SMP
sudah dianggap cukup tinggi, yang pada akhirnya setelah lulus toh langsung menikah juga, agar tidak
masuk kategori perawan tua yang tidak laku.
Yang pasti, ada kejadian yang menarik – dan agak
konyol ? – yang berhubungan dengan dua orang temanku ini. Yaitu pada saat
pelajaran Biologi yang mengambil tempat di ruang laboratorium IPA. Karena satu
Bab pokok bahasan sudah selesai, Pak Gatot Sutjipto (guru Biologi) memutuskan
untuk ulangan. Celakanya, ini bagi teman-teman yang nggak siap ulangan, Pak
Gatot mengacak tempat duduk kami. Satu meja panjang & besar laboratorium
dipakai untuk 4 siswa, dengan duduk selang-seling siswa laki-laki dan
perempuan. Aku kebagian duduk di meja sebelah kanan nomor 3 dari depan, dengan posisi
duduk sebelah kiriku Qomariyah dan sebelah kanan Samsiyah, serta paling ujung
kanan Wahyu Sardono.
Nah, saat 20 menit terakhir dipakai untuk
koreksi bersama, muncul ‘kejutan’ dari nilai-nilai yang langsung dibacakan Pak
Gatot. Aku mendapatkan nilai 84. Sedang 3 teman sebangkuku, mendapat nilai
diatas 60-an. Qomariyah 65, Samsiyah 72, Wahyu Sardono 76. Suasana jadi ramai
di ruang laboratorium, karena menurut teman-teman ada yang aneh dengan 2 teman
sebangkuku, mana mungkin Qomariyah dan Samsiyah bisa mendapat nilai sebesar itu
(apalagi ini pelajaran Biologi!), karena biasanya hanya mendapat nilai maksimal
tak lebih dari 30-an.
Kasarnya, pasti mereka berdua mencontek ke aku –
dan kenyataannya memang hiya, hehehe – apalagi aku tipikal siswa pendiam dan
pemalu, sehingga tidak bisa menolak kalau ada yang minta bantuan, termasuk
contekan sekalipun. Untungnya Pak Gatot tidak mempermasalahkan hal ini. Cuma
untuk ulangan-ulangan berikutnya aku sudah tidak pernah lagi didudukkan
sebangku dengan Qomariyah dan Samsiyah.
Memang, masih ada cerita-cerita lucu yang
berhubungan dengan kedua temanku itu, tetapi lebih pada kejadian keseharian di
kelas, yang bisa jadi dialami siapa saja saat masih duduk di bangku sekolah
SMP. Meski nilai dibawah rata-rata, syukurnya Qomariyah dan Samsiyah tetap naik
kelas dan lulus dari SMP, tanpa pernah tinggal kelas. Dan memang, seperti yang
aku duga semula, kabar yang beredar Qomariyah dan Samsiyah dijodohkan orang
tuanya begitu lulus SMP. Sebuah tradisi yang sulit untuk dikikis!
0 komentar:
Post a Comment