Bicara
masalah organisasi saat sekolah – baca: OSIS – aku langsung teringat pada sosok
Mas Eko, Ketua OSIS SMA
Negeri Tumpang periode 1985/1986. Eko Santoso, begitu nama lengkapnya, sebenarnya hanyalah siswa
biasa, jauh terkesan sebagai local idol yang digilai-gilai lawan
jenis dan membuat iri sesame jenis (biasanya yang model gini ini, anak yang
banyak gaya, sedikit punya kemampuan tertentu, wajah diatas rata-rata, tetapi biasa-biasa
saja di pelajaran).
Yang
membuat Eko “lebih” dari yang lain adalah selain pemain utama tim
basket sekolah, otak encernya diatas rata-rata teman seangkatannya. Pemilik tubuh tegapdengan tinggi sekitar 175
cm ini juga (kebetulan) seorang muslim taat dari etnis Chinese.
Barangkali karena alas an itu pula penghuni IPA-1 ini terpilih sebagai Ketua
OSIS secara aklamasi.
Satu
kejadian yang bagiku paling berkesan – sehubungan pertemanan dengan Mas Eko –adalah
saat mengikuti Lomba Karya Tulis Ilmiah Remaja tingkat Kabupaten Malang tahun
1985. Berkesan (sekaligus salut !) karena dengan inisiatif sendiri Mas Eko membuat karya tulis,
tanpa disuruh guru Pembina OSIS ataupun dorongan dari pihak sekolah, tetapi hanya
berbekal selebaran yang dikirim kesekolah oleh panitia.
Judul
yang diajukan pun saat itu sangat orisinil, yaitu (mudah-mudahan kalimatnya pas
begini) : “Cara Mudah Menghitung Perkalian sampai 5 Digit dengan Menggunakan
Bantuan Jari”. Karya ini termasuk dalam kategori “Temuan Baru”
karena belum ada teori tertulis sebelumnya yang terpublikasi (memang sih, beberapa
tahun kemudian, muncul Metode Kumon yang menurutku hampir sama dengan
apa yang ditulis Mas Eko di tahun 1985. Kebetulan ?).
Disaat-saat
batas akhir pengumpulan karya tulis, tanpa dinyana Mas Eko memasukkan namaku dalam
tim, alasannya lomba karya tulis bukan untuk perorangan, tetapi beregu dengan jumlah
minimal 2 orang. Yo wis, nolak juga nggak enak, pokok’e ikut
saja. Pas minta restu (pengesahan) dari Drs. Munawar, Kepala Sekolah
saat itu – hari Sabtu di penghujung bulan April sekitar jam 9 pagi, padahal batas
pengumpulan jam 13.00 di Kantor Depdikbud ab. Malang – ndilalah
sambutannya biasa-biasa saja, hanya disarankan minta “sangu” ke Bagian Keuangan
OSIS yang saat itu dipegang Bu Runia Laksmiwati.
Dengan
segala alasan, Bu Runia bisanya ngasih Rp. 650,- saja, yang hanya cukup
untuk ongkos transport PP dari SMAN Tumpang ke Kantor Dikbud Kabupaten
(yang kalo nggak salah saat itu di sekitar jalan ke arah Kebon Agung).
Keluar
dari ruang guru, dengan lirih Mas Eko bilang, “Geng, duwik’e mek cukup digawe wong siji tok. Yok opo iki ?” Dan
tanpa disangka Mas Eko nyambung lagi, “Wis pokok’e
awak’e dewe kudu budal wong loro. Gak usah lewat Patimura (nama
terminal Malang dahulu, red) tapi liwat kidul ae. Ayo’ wis berangkat sak iki ae !”.Kalau diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia, “Geng, uangnya Cuma cukup dipakai satu orang saja,
giman aini? Sudah, pokoknya kita tetap harus berangkat berdua. Nggak usah lewat
terminal Patimura, tapi lewat selatan saja. Ayo, kita berangkat sekarang!”
Singkat
cerita, kami berangkat naik mobil colt yang melewati Banjarejo, terus Kedung Kandang,
dan memilih turun di sekitar Kota Lama (bayar Rp. 300,- berdua). Karena ngirit ongkos,
ke kantor Dikbud jalan kaki sekitar 2 km, panas-panasan sekitar jam 12-an
siang. Sampai kantor Dikbud tercatat sebagai peserta terakhir yang memasukkan naskah
lomba, karena sudah sekitar jam 12.30 (eh hiya, 3 copy Karya Tulis itu semuanya
diketik manual dan beberapa bagian ditulis tangan. Kayaknya belum ada yang
namanya computer deh saat itu).
Begitu
urusan selesai, balik ke Tumpang lewat Kota Lama lagi, jalan kaki
lagi, dan jaraknya sekitar 2 km juga. Anehnya, saat itu kami berdua tidak mengeluh
dan malah becanda terus di perjalanan (sambil ngrasani, koq tego yo pihak
sekolah nang awak’e dewe, hehehe…). Sebelum naik colt jurusanTumpang, kami
sempat berunding gimana kalo sisa uang yang Rp. 50,- dibelikan es sirup pinggir
jalan saja, lumayan, dapat 2 gelas, dan sisanya Rp. 300,- untu kongkos naik
colt.
Memang,
akhirnya karya tulis Mas Eko (sengaja tidak aku tulis “KAMI” sebab aku memang tidak
memberikan kontribusi apa-apa. Suer!) tidak menang, bahkan untuk masuk
10 besar pun tidak diperhitungkan. Tidak ada rasa kecewa, bahkan Mas Eko membesarkan
hatiku, “Gak popo Geng, sing
penting awak’e dewe wis wani nyoba’ melok. Dadi iso ngukur kemampuan awak’e dewe iki
sepiro disbanding sekolah liyane..!” (terjemahannya: “Nggak apa-apa Geng, yang penting kita sudah
berani mencoba ikut. Jadi bisa mengukur kemampuan kita ini seberapa dibanding
sekolah lainnya.”)
Bukan
main, begitu legowo-nya dia, meski sebenarnya
ada nada kecewa pada pihak sekolah yang kurang memberi dukungan. Dan untuk mensosialisasikan
“karya” Mas Eko ke teman-teman, aku sempat memasukkan kedalam salah satu edisi Majalah
Sekolah Widya Wiyata, yang kebetulan saat itu aku ikut menjadi pengelolanya.
Seiring
bertambahnya waktu, setelah lulus SMA Mas Eko pernah mendaftar ke Akademi Angkatan
Laut (mudah-mudahan nggak salah), tetapi gagal dalam 2 kesempatan karena faktor
non-teknis. Trus, masih kalau nggak salah, mendaftar di IAIN Sunan Ampel
Surabaya. Dan, kabar terakhir Mas Eko saat ini bekerja di sebuah perusahaan swasta
di kawasan Surabaya. Aku sendiri belum pernah berkomunikasi sampai saat ini.
Tetapi, bagaimanapun juga, Mas Eko sudah member banyak “pelajaran” padaku,
setidaknya Mas Eko-lah yang menjadi mentor pertamaku dalam belajar berorganisasi,
utamanya di OSIS.
***