Bisa membuat
ketupat? Ya, tepatnya ‘bungkus ketupat’ yang terbuat dari anyaman janur (itu
lho, daun kelapa yang masih muda) biasanya untuk salah satu sajian wajib di
hari Lebaran? Kalau tidak bisa, apalagi anda berjenis kelamin laki-laki, ya
siap-siap saja kelak di akhirat ‘dihukum’ menusuki (mbithingi = bahasa Jawa)
daun asam yang berukuran kecil – berukuran tidak lebih dari 1 cm -- dengan
antan (alu = bahasa Jawa), alat menumbuk padi yang super besar itu.
Begitulah ‘ajaran’
yang diberikan di keluargaku saat aku masih duduk di bangku kelas 3 SD.
Sehingga, mau tak mau aku harus bisa membuat ketupat sendiri, agar kelak tidak
mendapat ‘siksa’ yang super berat tadi. Entahlah, apakah itu hanya
menakut-nakuti supaya sejak kecil kita bisa membuat ketupat sendiri, atau
memang begitu adanya, yang pasti aku terlecut belajar membuat ketupat saat
menginjak usia 9 tahun.
Aku belajar
membuat ketupat dari Mak Pan – ini nama familiku yang sudah ‘mengabdikan’ diri
di keluargaku sejak aku baru usia balita – yang saat itu masih berusia 20-an
tahun. Meski dipanggil Mak Pan, sebenarnya beliau ini laki-laki tulen, yang
bernama Kaspan. Panggilan Mak adalah dari kata ‘Pamak’ atau ‘Paman’ dalam
tradisi Jawa. Jadi sebenarnya adalah Paman Kaspan yang disingkat jadi Mak Pan.
Seingatku, saat itu aku belajar membuat ketupat bersama-sama dengan Mbak Anda
(kakakku) dan Sri (adikku). Tidak memerlukan waktu lama, setelah hampir 2 jam
belajar, aku sudah bisa membuat ketupat sendiri.
Oh hiya,
tradisi Lebaran Ketupat di desaku sama ramainya dengan suasana Lebaran di hari
pertama. Lebaran Ketupat biasanya diadakan satu minggu setelah Lebaran 1
Syawal. Selain (hampir) semua rumah membuat ketupat secara serentak, biasanya siang
sampai malam harinya saling antar ketupat dengan tetangga-tetangga dan sanak
saudara yang jauh sekalipun. Sehabis sholat Ashar sampai malam, bergantian dari
rumah ke rumah saling mengundang untuk kenduren (=kendurian). Sunggu sehari yang penuh
kesibukan, selain penuh makanan ketupat dan sejenisnya.
Satu hal
yang menurutku penuh dengan makna, sebenarnya bukan dari suasana dari Lebaran
Ketupat itu. Melainkan ‘ajaran’ bahwa anak laki-laki harus bisa membuat ketupat,
kalau tidak pasti kelak akan mendapat ‘siksa’. Ini menurutku bermakna luas.
Pertama, sudah sewajarnya anak laki-laki harus bisa mengerjakan hal-hal yang
(kelak) akan menjadi tanggung jawabnya, yaitu membuat ketupat untuk
keluarganya. Kedua, membuat ketupat (mulai dari mencari janur, dan seterusnya)
tentulah pekerjaan kaum lelaki, sehingga sejak kecil harus diajarkan bahwa membuat
ketupat adalah tugas seorang lelaki.
Apapun itu, sampai kelak
aku sudah dewasa dan berkeluarga, sebisa mungkin aku membuat sendiri ketupat
untuk keluargaku setiap Lebaran tiba. Walaupun, pada jaman yang semakin maju
ini, sudah banyak dijual bungkus ketupat siap pakai di pasar-pasar tradisional. Tentu bukan masalah ribet atau praktisnya, tetapi ‘ajaran’ bahwa seorang laki-laki haruslah bertanggung jawab – untuk urusan apapun – pada keluarganya, itu yang harus
tetap dijunjung tinggi!
0 komentar:
Post a Comment