Hobi membaca
berbanding lurus dengan kemampuan menulis, barangkali kalimat tersebut bisa
mewakili kesukaanku akan dunia tulis menulis. Setidaknya, karena terbiasa
membaca apa saja – koran, majalah, tabloid, buku cerita ataupun brosur pameran –
aku jadi bisa memilih kata dan membuat kalimat lebih terstruktur, terutama
kalau ada pelajaran mengarang.
Lucunya,
ketika ada kesempatan mengirimkan tulisan-tulisanku ke media cetak (majalah)
justeru yang pertama aku tulis bukannya karangan tentang suasana desa ataupun
cerita keseharian, tetapi malah ‘pengalaman lucu’ di rumah. Adalah majalah
Kawanku – terbitan Jakarta dan merupakan majalah anak-anak skala nasional –
yang pertama kali menginspirasiku untuk mengirimkan tulisan. Entah mengapa, setiap
majalah Kawanku terbit di hari Selasa, rubrik pertama yang aku baca biasanya
adalah tulisan-tulisan karya pembaca, baik berupa cerita ataupun pengalaman
keseharian.
Nah, karena
di rumah – yang memang keluarga besar – termasuk keluarga humoris, yang selalu penuh
canda dalam keseharian, maka suatu saat aku ingin menuliskannya dalam sebuah cerita
lucu, yang (akhirnya) aku kirim ke majalah anak-anak Kawanku. Ceritanya sangat
sederhana, yaitu kebiasaan kami, aku dan adik-adikku, setiap disuruh Ibu untuk
mengambil sesuatu pasti selalu menjawab, “Dimana, Bu?” Karena memang suka becanda, Ibu kadang-kadang
menjawab dengan kalimat, “Di rumah Mbak Lastri sana!” (ini nama tetangga
belakang rumah). Meski jawaban Ibu cuma becanda, kadang kami tanpa pikir
panjang langsung lari ke rumah Mbak Lastri. Dan tentu saja kami kecele,
hehehe....
Cerita
sederhana itulah yang dalam waktu satu bulan setengah kemudian – sejak aku
kirim via kantor pos – dimuat di majalah Kawanku, saat aku masih duduk di
bangku kelas VI. Tulisan itu memang tidak dikirim asal-asalan, tetapi aku ketik
rapi (memakai mesin tik yang dibawa pulang Bapak dari kantor desa tiap
harinya), dan beberapa kali aku rapikan kata-katanya, sehingga setidaknya 4
kali ganti kertas HVS.
Kalau
ditanya tentang perasaan saat itu, sungguh sangatlah senang, karena aku merasa tulisan
yang dibuat anak SD dari kota kecamatan di wilayah Kabupaten Malang bisa dimuat
di majalah anak-anak terbitan ibukota Jakarta. Rasanya tidak percaya, bahwa aku
bisa ‘menembus’ media cetak skala nasional.
Dan tidak
berselang lama, kira-kira 5 hari sejak dimuat, sebuah wessel senilai Rp. 7,500,-
diantar pak pos ke rumah. Ya, honor pertama sebagai penulis sekaligus
pengalaman pertama mendapatkan uang dari hasil keringat (kemampuan?) sendiri.
Memang tidaklah besar – kalau menurutku saat itu ya lumayan besar, apalagi
sebagai anak yang baru kelas V SD – dibandingkan dengan harga sepatu basket
yang sudah mencapai harga Rp. 20,000,- saat itu. Bahkan, saat mengambil di
kantor pos, petugas pos bercanda sambil mengatakan lumayanlah uang segitu, bisa
dibelikan petasan dan kembang api untuk persiapan di bulan puasa (aku jadi
ingat, bahwa saat itu memang menjelang bulan puasa ramadhan, hehehe...).
Begitulah,
apa-apa yang ‘pertama’ selalu berkesan, dan sering menjadi tonggak perjalanan
seseorang untuk masa depannya. Dan tulisan pertamaku yang dimuat di majalah
Kawanku, nampaknya akan menjadi tonggak kesukaanku akan dunia tulis-menulis,
meski tidak (benar-benar) menjadi seorang penulis!