Sebesar
apapun bakat yang dimiliki seseorang, kalau tidak dikembangkan dan dibina
dengan baik dalam wadah yang benar, pasti akan bersifat mubadzir dan sia-sia
belaka. Barangkali ungkapan itulah yang bisa mewakili apa yang terjadi pada
diriku. Benar, sejak masih di sekolah dasar, aku sudah mempunyai bakat menulis
dan mengarang. Bahkan sudah ada satu tulisan pendek karyaku yang dimuat di
salah satu majalah anak-anak terbitan Jakarta. Dan juga beberapa kali ikut
lomba mengarang tingkat SD di sekolahku.
Tetapi,
ajang lomba – dan pembuktian bahwa aku memang mempunyai bakat menulis – yang
sebenarnya, adalah saat duduk di bangku SMP kelas 2. Waktu itu, dalam
memperingati Hari Sumpah Pemuda, diadakan beberapa mata lomba, yang wajib
diikuti perwakilan setiap kelas, mulai kelas 1 sampai kelas 3. Untuk wakil
kelasku, aku ditunjuk oleh Bu Rimamik (wali kelasku saat itu) untuk ikut lomba
mengarang. Entah, apa alasannya kenapa harus aku yang ikut lomba mengarang,
apakah karena tulisanku yang bagus atau karena apa, aku tidak pernah menanyakan.
Singkat
cerita, aku berlomba bersama 38 siswa lainnya dalam 2 ruang kelas yang berbeda,
dengan waktu yang diberikan 150 menit. Lucunya, aku pikir lomba mengarang ini
dikerjakan di rumah, jadi malam sebelum lomba aku sudah membuat karangan dengan
tema ‘pahlawan dalam era kemerdekaan’ dalam 4 halaman kertas buku tulis.
Maksudku, pas hari-H aku tinggal mengumpulkan saja. Ternyata beda, karangan
harus dibuat langsung di sekolah dengan waktu 2,5 jam tadi.
The show
must go on, aku membuat (menulis ?) lagi karangan dengan tema sama dengan yang
sudah aku buat, sebelum memulai lomba aku sempatkan membaca karangan yang sudah
aku buat malam sebelumnya. Aku pikir tentu ini bukan perbuatan ‘salah’ karena
yang aku lihat ya hasil karanganku sendiri. Beda permasalahannya kalau yang aku
lihat adalah hasil tulisan orang lain, tentu ini sudah masuk kategori plagiat.
Sedikit
gambaran, yang aku ceritakan dalam tulisanku adalah perjuanganku dalam lomba
halang rintang saat mengikuti perkemahan Pramuka tingkat SD se kecamatan Pakis
(baca tulisan: Terlatih Jadi Pemimpin untuk Pertama Kalinya). Saat menyeberangi sungai, kakiku terkilir dan terasa sakit
banget, tapi aku memaksakan terus mengikuti lomba sampai selesai. Karena
sebagai ketua regu, aku tidak boleh meninggalkan anak buah. Aku harus
bertanggung jawab terhadap reguku, meski jalan dengan terpincang-pincang
menahan rasa sakit. Aku mengibaratkan, itu sama halnya dengan sebuah perjuangan
yang dilakukan Jenderal Soedirman saat perang gerilya melawan Belanda. Dalam
kondisi sakit, Beliau tetap berada di tengah pasukannya.
Terus
terang, aku tidak pernah ‘bermimpi’ menang dalam lomba mengarang seperti ini.
Dengan sifat pendiam dan (sedikit) tertutup, aku sebenarnya lebih asyik dengan
apa yang aku kerjakan. Itulah sebabnya, ketika saat pengumuman pemenang lomba –
bertepatan dengan upacara bendera hari Senin – namaku disebut sebagai pemenang
ke-2 Lomba Mengarang, aku kaget dan gemetaran, bahkan diledek teman-teman
karena kebengonganku saat disuruh maju ke depan untuk menerima hadiah. Aku juga
tidak pernah menyesal karena hanya juara 2, karena sebagai juara 1 saat itu
adalah Mbak Ida Maghfuroh, siswi kelas 3, yang memang dikenal mempunyai
kepandaian diatas rata-rata temannya.
Setelah menang lomba,
memang ada kegairahan untuk menulis. Hadiah berupa 5 buah buku tulis tebal,
awalnya aku rencanakan untuk membuat tulisan (karangan) dan catatan harian.
Tapi hanya berjalan beberapa hari semata. Selanjutnya, aku menjadi diriku yang
pendiam dan asyik dengan keinginanku sendiri. Ya, aku masih masa pancaroba,
mencari jatidiri, belum pernah terpikirkan bahwa menulis itu – ternyata – bisa menjadi
pekerjaan atau mata pencaharian di kelak kemudian hari.