Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Monday, May 10, 2010

Lho, Pemain Level Divisi Utama Koq Nggak Tahu Istilah Sepakbola ?


Kalau ditanya jam pelajaran apa yang paling difavoritkan teman-teman saat di SMA dulu, jawabannya pastilah Olahraga dan Kesehatan (disingkat Orkes), meski sebenarnya masih kalah favorit dengan jam pelajaran ‘kosong’ (biasanya gurunya sakit atau ada acara dinas mewakili sekolah, jadi tidak ada pelajaran, hehehe…). Tapi nggak semua sih senang olahraga, terutama bagi mereka yang masuk kategori kutu-buku, mereka ini maunya pelajaran diisi dengan teori dan catatan melulu.

Nah, bagi yang senang olahraga – tepatnya mencari kebebasan dari catatan dan teori-teori di dalam kelas – olahraga berarti bisa menghirup udara segar dan balik ke kelas agak terlambat.  Apalagi sekolah SMA-ku dulu memang masuk kategori terisolir, karena terletak di tengah perkebunan tebu, yang lumayan jauh dari jalan raya utama, sehingga kalau pas jam olahraga (terutama sepakbola) bisa dimanfaatkan untuk sedikit keluyuran cari buah gratisan di kebun atau rumah penduduk sekitar sekolah. Karena jarak gedung sekolah dengan stadion tempat olahraga jaraknya sekitar 200 meter.

Tapi kali ini yang aku ceritakan bukan masalah kebiasaan cari buah – durian, rambutan ataupun nangka – di kebun tetangga sekitar sekolah, melainkan yang berhubungan dengan sepakbola, yang katanya sudah menjadi olahraga rakyat di negeri ini (dan ini masih perlu diperdebatkan, karena ternyata rakyat lebih senang nonton sepakbola daripada memainkannya, sumpah !). Karena dari olahraga sepakbola ini, beberapa kelas malah bisa mendapatkan tambahan uang kas kelas (baca: disini!) ya tentunya uang itu datang dari ‘taruhan’ tanding antar kelas.

Meski kelasku belum pernah ‘berani’ bertanding melawan kelas lain, apalagi dengan uang taruhan segala, tetapi di kelasku ada satu orang teman yang lumayan jago dalam bermain sepakbola, terutama saat memasuki kelas III. Selain di desanya masuk tim inti, Muhammad Isnaeni – ini nama lengkapnya – nampaknya juga mulai sering dipanggil ke tim KONI kecamatan. Jadi nggak aneh, setiap ada kesempatan bermain sepakbola, Isnaeni nampak lebih dominan dan sering terlihat over acting, karena merasa lebih jago dari teman-teman sekelas.

Meski aku ketua kelas saat itu, di lapangan yang menjadi jenderal tetaplah Isnaeni. Bahkan dalam salah satu pertandingan aku sempat beberapa kali ‘diperingatkan’ oleh Isnaeni agar tidak sembarangan duel mengambil bola-bola tanggung dengan kepala, karena aku bisa terkena heading, dan itu dampaknya bisa fatal. Jujur, kata-kata ‘heading’ ini bertahun-tahun membuat aku penasaran. Karena aku tahu yang dimaksud Isnaeni tentulah body chargekontak fisik dengan lawan – yang tentu tidak memungkinkan aku lakukan karena badanku yang kurus dan kecil. Cuma, kenapa Isnaeni bilangnya ‘heading’ yang artinya tentu saja menyundul bola dengan kepala?

Dua tahun kemudian, saat sudah mulai kuliah, aku membaca di koran lokal Jawa Timur – akhir tahun 80-an belum ada internet – kalau Isnaeni sudah masuk tim utama Persema Malang, yang berlaga di Divisi Utama (Perserikatan) PSSI. Aku bangga, karena teman main bola saat jaman SMA ternyata bisa main di kompitisi level atas negeri ini. Dan setiap membaca berita Persema di koran, pasti yang aku ingat adalah Muhammad Isnaeni, anak desa Glagah Dowo yang mengajari aku untuk tidak sembarangan melakukan heading (eeeh body charge ya?) saat bermain bola.

Yang pasti, karena setelah lulus SMA, Isnaeni masuk klub RSSA yang berafiliasi di Divisi Utama Persema Malang – dan kemudian masuk tim inti Persema Malang – aku yakin disana Muhammad Isnaeni akan diajari istilah-istilah sepakbola yang benar, seperti: sliding tackle, shooting, heading ataupun body charge. Hmmm.., Isnaeni sekarang dimana ya ?

***

0 komentar: