Kalau ditanya jam pelajaran
apa yang paling difavoritkan teman-teman saat di SMA dulu, jawabannya pastilah
Olahraga dan Kesehatan (disingkat Orkes), meski sebenarnya masih kalah favorit
dengan jam pelajaran ‘kosong’ (biasanya gurunya sakit atau ada acara dinas mewakili
sekolah, jadi tidak ada pelajaran, hehehe…). Tapi nggak semua sih senang
olahraga, terutama bagi mereka yang masuk kategori kutu-buku, mereka ini maunya
pelajaran diisi dengan teori dan catatan melulu.
Nah, bagi yang senang
olahraga – tepatnya mencari kebebasan dari catatan dan teori-teori di dalam
kelas – olahraga berarti bisa menghirup udara segar dan balik ke kelas agak
terlambat. Apalagi sekolah SMA-ku dulu
memang masuk kategori terisolir, karena terletak di tengah perkebunan tebu,
yang lumayan jauh dari jalan raya utama, sehingga kalau pas jam olahraga (terutama
sepakbola) bisa dimanfaatkan untuk sedikit keluyuran cari buah gratisan di
kebun atau rumah penduduk sekitar sekolah. Karena jarak gedung sekolah dengan
stadion tempat olahraga jaraknya sekitar 200 meter.
Tapi kali ini yang aku
ceritakan bukan masalah kebiasaan cari buah – durian, rambutan ataupun nangka –
di kebun tetangga sekitar sekolah, melainkan yang berhubungan dengan sepakbola,
yang katanya sudah menjadi olahraga rakyat di negeri ini (dan ini masih perlu
diperdebatkan, karena ternyata rakyat lebih senang nonton sepakbola daripada
memainkannya, sumpah !). Karena dari olahraga sepakbola ini, beberapa kelas malah
bisa mendapatkan tambahan uang kas kelas (baca: disini!) ya tentunya uang itu datang
dari ‘taruhan’ tanding antar kelas.
Meski
kelasku belum pernah ‘berani’ bertanding melawan kelas lain, apalagi dengan
uang taruhan segala, tetapi di kelasku ada satu orang teman yang lumayan jago
dalam bermain sepakbola, terutama saat memasuki kelas III. Selain di desanya
masuk tim inti, Muhammad Isnaeni – ini nama lengkapnya – nampaknya juga mulai
sering dipanggil ke tim KONI kecamatan. Jadi nggak aneh, setiap ada kesempatan
bermain sepakbola, Isnaeni nampak lebih dominan dan sering terlihat over acting,
karena merasa lebih jago dari teman-teman sekelas.
Meski aku
ketua kelas saat itu, di lapangan yang menjadi jenderal tetaplah Isnaeni.
Bahkan dalam salah satu pertandingan aku sempat beberapa kali ‘diperingatkan’
oleh Isnaeni agar tidak sembarangan duel mengambil bola-bola tanggung dengan
kepala, karena aku bisa terkena heading, dan itu dampaknya bisa fatal. Jujur,
kata-kata ‘heading’ ini bertahun-tahun membuat aku penasaran. Karena aku tahu
yang dimaksud Isnaeni tentulah body charge – kontak fisik dengan lawan – yang tentu tidak memungkinkan
aku lakukan karena badanku yang kurus dan kecil. Cuma, kenapa Isnaeni bilangnya
‘heading’ yang artinya tentu saja menyundul bola dengan kepala?
Dua tahun kemudian, saat
sudah mulai kuliah, aku membaca di koran lokal Jawa Timur – akhir tahun 80-an
belum ada internet – kalau Isnaeni sudah masuk tim utama Persema Malang, yang
berlaga di Divisi Utama (Perserikatan) PSSI. Aku bangga, karena teman main bola
saat jaman SMA ternyata bisa main di kompitisi level atas negeri ini. Dan
setiap membaca berita Persema di koran, pasti yang aku ingat adalah Muhammad
Isnaeni, anak desa Glagah Dowo yang mengajari aku untuk tidak sembarangan melakukan
heading (eeeh body charge ya?) saat bermain bola.
Yang pasti, karena
setelah lulus SMA, Isnaeni masuk klub RSSA yang berafiliasi di Divisi Utama
Persema Malang – dan kemudian masuk tim inti Persema Malang – aku yakin disana Muhammad
Isnaeni akan diajari istilah-istilah sepakbola yang benar, seperti: sliding
tackle, shooting, heading ataupun body charge. Hmmm.., Isnaeni sekarang dimana
ya ?
***
Image source: http://drdavidgeier.com
0 komentar:
Post a Comment