Social Icons

twitter facebook google plus linkedin rss feed email

Thursday, June 10, 2010

Gara-gara AMBON, Gagal Jadi Pelajar Teladan

Entah karena memang aku pintar, atau alasan lain –bisa saja kan ?– saat duduk di bangku SD kelas V, aku ditunjuk mewakili SDN Pakisjajar I untuk mengikuti seleksi ‘Pelajar Teladan’ tingkat Kecamatan Pakis. Selama satu minggu, aku diharuskan belajar semua materi pelajaran yang pernah diajarkan sampai kelas V, bahkan Pak Irfan, kepala sekolah saat itu, memberikan buku-buku pelajaran kelas VI untuk tambahan bekal maju ke pemilihan pelajar teladan. 

Lucunya, aku sendiri saat itu merasa biasa-biasa saja, tidak dalam kondisi tertekan, stres, deg-degan, atau apapun namanya. Namanya juga anak-anak di kampung, yang ada cuma senang saja karena bisa mewakili sekolah. Padahal, kepala sekolah dan guru-guru nampak ‘berjuang keras’ mengatur strategi bagaimana caranya supaya aku bisa lolos tingkat kecamatan, supaya bisa maju ke tingkat kabupaten. Apalagi SD-ku yang berada di pusat kota kecamatan menjadi tuan rumah bagi puluhan SD lainnya di Kecamatan Pakis

Tibalah saat seleksi yang ditunggu-tunggu. Suasana di ruang kelas sungguh mencekam. Karena ruang kelas yang biasanya dihuni sampai 50 siswa, kali ini hanya berisi 22 siswa ‘pilihan’ saja, sedang di kelas sebelah juga diisi sekitar 24 siswa saja. Total ada 46 siswa yang mengikuti seleksi, dibagi dalam 2 kelas. Pengawaspun sungguh istimewa, satu ruangan bisa ada 4 sampai 6 pengawas. Entah berapa jam yang diperlukan untuk menyelesaikan soal-soal yang ada, seingatku ada 2 kali pergantian lembar soal, yang total keseluruhan sekitar 100 soal. 

Tengah hari, sekitar jam 11 siang, seleksi tulis dinyatakan selesai. Semua soal dan jawaban langsung dibawa ke Kantor Penilik Sekolah (Kantor Dikbud Kecamatan) yang ada di seberang jalan sekolahku. Aku sudah masuk dan bermain lagi dengan teman-teman sekelasku yang nampaknya hari itu tidak ada pelajaran, dan hanya diisi dengan berdoa bersama agar aku bisa memenangi seleksi ini. Luar biasa! 

Sekitar jam 12 siang, di ruang guru – yang bersebelahan dengan ruang kelasku – tiba-tiba bersuasana gaduh, kepala sekolah dan beberapa guru yang menjadi panitia seleksi yang baru kembali dari penilaian di Kantor Dikbud nampak berdiskusi dengan suasana tegang, entah apa yang sedang dibicarakan. Setelah itu, kepala sekolah kembali ke Kantor Dikbud lagi. 

Dan 15 menit berselang, kepala sekolah kembali lagi ke sekolah dengan wajah sedikit muram dan kurang semangat. Kami, murid-murid yang masih ada di depan ruang guru langsung mendekat ke pintu. Pak Irfan – kepala sekolah – memanggilku masuk ruang guru, yang didalam sudah lengkap para guru untuk mendengarkan hasil penilaian. Sedang teman-teman sekelasku hanya bisa berkerumun, melihat (lebih tepatnya: nguping) dari pintu yang sedikit terbuka.  

Di depan para guru – dan juga aku – Pak Irfan menyampaikan seluruh proses seleksi sampai penilaian, yang nampaknya menjadi perdebatan sengit antar dewan juri penilai (dan dengan para kepala sekolah yang berkepentingan). Pokok permasalahannya, nilai yang aku dapat (wakil SDN Pakisjajar I) dengan salah seorang siswi dari SD Angkasa (Desa Saptorenggo) adalah sama. Sehingga ada pro dan kontra, antara diadu ulang: head to head, atau dinilai ulang. Dan kesepakatan mereka, opsi terakhirlah yang diambil, karena kalau diadu ulang tidak memungkinkan (siswi dari SD Angkasa sudah pulang). 

Disinilah letak ‘konflik’nya. Disalah satu pertanyaan mata pelajaran IPS tertulis: “Pahlawan Pattimura berasal dari pulau …………”. Di lembar jawabanku tertulis Ambon, sedang wakil dari SD Angkasa menulis Maluku. Para tim penilai bersikukuh bahwa Ambon adalah nama kota, sedang Maluku nama pulau/kepulauan, jadi yang benar adalah wakil SD Angkasa, yang sekaligus saat itu juga siswi tersebut dinobatkan sebagai Pelajar Teladan Tingkat Kecamatan Pakis, dan berhak maju ke tingkat Kabupaten Malang. 

Ya, kesempatan untuk menjadi Pelajar Teladan tingkat SD – yang bisa dibanggakan sekolah, para guru, orang tua dan juga teman-temanku – akhirnya sirna. Meski saat itu tidak ada rasa menyesal sedikitpun dihatiku.

0 komentar: