Selama
menjalani sekolah di tingkat dasar (SD) 6,5 tahun -- ya benar, enam tahun enam
bulan, karena di Januari 1979 semua jenjang sekolah di Indonesia diperpanjang
enam bulan, yang semula kenaikan kelas di tiap akhir tahun (bulan Desember)
dirubah menjadi bulan Juni kenaikan kelasnya -- aku belum pernah diajarkan
ke-Pramuka-an secara benar. Memang ada kegiatan Pramuka, tetapi disisipkan pada
pelajaran olahraga dan kesehatan, selang-seling tiap minggunya. Itupun lebih banyak
pada hafalan Dasa Dharma dan mengenal simbol-simbol tanda jejak serta lagu-lagu
pramuka.
Nah,
ketika aku sudah selesai menjalani Ebtanas dan tinggal nunggu hasil, ternyata
di lapangan kecamatan yang jaraknya kira-kita satu kilometer dari rumahku, diadakan
perkemahan Pramuka tingkat SD (Penggalang) se Kecamatan Pakis, selama 2 hari (sabtu-minggu), dalam rangka
memeriahkan Jambore Nasional Pramuka ke-3 dan Jambore Pramuka Asia Pasifik
ke-6, yang diadakan di Cibubur, Jakarta Timur.
Untuk
yang tingkat kecamatan ini, sekolahku ikut serta juga, dan yang dikirim adalah
adik-adik kelas V. Entah dapat tenda darimana, dan bagimana adik-adik itu bisa
mengikuti kegiatan -- karena setahuku di SD memang tidak ada pelajaran Pramuka -- yang pasti pada suatu petang (selepas maghrib) aku diajak Rochim dan Bagong,
teman sekelas yang sama-sama selesai Ebtanas, untuk melihat perkemahan di
lapangan tersebut.
Ironisnya,
tenda SD Pakisjajar I – ini nama sekolahku – masuk kategori yang cukup
memprihatikan, selain tendanya berukuran kecil, oleh panitia juga ditempatkan
di deretan paling belakang dari 3 lajur yang ada. Dan sekolahku ternyata cuma mengirim
regu laki-laki saja. Saat ketemu Pak Sunanto, guru yang selama ini merangkap
mengajar Pramuka, beliau mengemukakan kalau cuma 6 anak yang datang ikut
perkemahan dari yang seharusnya 10 orang. Intinya, Pak Nanto minta kami
bertiga bersedia ikut berkemah dan menyuruh kami pulang kembali untuk ganti
pakaian Pramuka dan membawa perlengkapan kemah seadanya.
Singkat
cerita, malam itu kami ber-3 bergabung di regu Pramuka sekolahku, dan secara sepihak Pak
Nanto dan teman-teman memilih aku sebagai Ketua Regu. Dan yang tanpa aku duga,
Pak Nanto pamit tidak bisa menemani kami selama perkemahan karena ada acara
keluarga yang harus beliau hadiri. Ya, apa boleh buat, toh ini hanya perkemahan
penggembira saja, pikirku saat itu.
Tapi,
yang aku pikirkan berbeda 180 derajat, karena esok harinya setelah apel pagi,
semua SD peserta perkemahan wajib
mengikuti lomba penjelajahan dan dapur umum serta kebersihan tenda, baik putra
maupun putri. Gawaaat.., aku harus cepat mengambil keputusan sekaligus bagi
tugas, yakni 6 orang ikut penjelajahan dan 3 sisanya ikut lomba dapur umum sekaligus
menjaga tenda agar tetap rapi dan bersih. Yang kami bingungkan saat itu, kami
tidak tahu harus berbuat apa saat lomba nanti, karena memang belum pernah
diajarkan. Belum lagi perlengkapan yang kami bawa juga seadanya.
The
show must go on, sebelum start penjelajahan, aku katakan pada anggota reguku
untuk selalu memperhatikan regu (sekolah) lain dalam melakukan prosesi apapun,
baik itu cara hormat memakai tongkat, mengerjakan tugas di lapangan, maupun
memecahkan tanda jejak. Entah dapat ‘kekuatan’ darimana, aku tak pernah kendor
memberi semangat pada reguku agar tidak minder pada regu lain yang seragam dan
perbekalannya lengkap, teknik kepramukaannya mumpuni dan selalu didampingi
pembinanya.
Alhamdulillah, semua rintangan dapat kami atasi, pertanyaan dan
tanda jejak kami jawab dan lewati dengan lancar, meski tidak sempurna. Tidak ada terlihat wajah kecapekan dari kami ber-6. Begitu
tengah hari memasuki finish dan kembali ke tenda, kami masih semangat dan penuh
canda, meski yang kami temui di tenda hanyalah air putih, roti sepotong dan mie rebus
(tanpa nasi, karena memang tidak ada yang berbekal beras).
Ya,
itulah pengalaman pertamaku sebagai ‘pemimpin’ yang harus membuat ‘keputusan’
cepat dalam kondisi darurat. Itulah kali pertama aku tidak merasakan sakit dan
ngilu di kakiku meski terkilir saat menyeberang sungai paling depan (sebagai
pimpinan regu aku tidak mau terlihat 'sakit' di depan anak buahku). Setidaknya, kegiatan Pramuka di akhir aku menempuh bangku SD
ini sudah memberiku pelajaran berharga, yang kelak akan menjadi dasar bagi kegiatanku
berikutnya di organisasi-organisasi yang aku ikuti.
Dan,adalah benar
bahwa seorang pemimpin terlahir karena tempaan di ‘lapangan’, bukan karena
latihan dan teori-teori semata !
0 komentar:
Post a Comment