Setiap mengenang
Ibuku, saat itu pula ribuan, jutaan – atau bahkan tak terhingga – berbagai kejadian
dan peristiwa yang berkaitan dengan Ibu, begitu saja silih berganti berlomba melintas
di kepalaku. Hebatnya, tak ada satupun yang bercitra negative atau membuat aku kecewa,
marah ataupun dendam. Semuanya begitu indah, begitu penuh makna. Meski saat peristiwa
itu terjadi, aku belum bisa mencerna makna dari ikap ataupun perbuatan yang
dilakukan ibu.
Peristiwa
yang membuat aku sangat menyesal – kelak di kemudian hari, ketika aku sudah berkeluarga
dan mempunyai putra – adalah ketika ‘melawan’ larangan ibu agar aku membatalkan
keinginanku menonton pertandingan sepakbola di lapangan kecamatan (kalau nggak salah
final antar desa dalam rangka 17-an) bersama teman-teman sekolahku. Alasan ibu sederhana,
cuaca siang itu cukup mendung dan ada tanda-tanda akan terjadi hujan lebat. Apalagi tempat tinggalku masuk kategori dataran
tinggi, sehingga kemungkinan hujan lebat sangat besar di saat musim penghujan seperti
itu.
Tapi larangan
ibu aku anggap sebagai sikap yang menganggap aku anak kecil. Padahal aku sudah kelas
5 SD saat itu. Dalam benakku, aku sudah jadi anak gede yang boleh main dan nonton
bola di lapangan yang jaraknya 1,5 km dari rumah. Apalagi teman-teman seperti Lastari,
Budi, Nurcholiq, Yulianto dan Sofyan – ini teman-temanku di SD dan juga tetanggaku
– sudah menjemputku sejak jam 2 siang.
Seperti sebuah
kutukan dari Ibu, sesampai di lapangan 20 menit kemudian, hujan mulai turun dan
langsung deras. Padahal dilapangan masih belum ada penonton yang datang, karena
pertandingan sepakbola diadakan sekitar jam 3 sore. Aku berlima akhirnya berteduh
di bawah pohon lamtoro yang banyak di pinggiran lapangan. Basah kuyup dan kedinginan,
serta lapar. Satu jam kemudian hujan tiba-tiba berhenti dan ada sinar matahari.
Kata orang-orang, itu kerjaan tukang sarang hujan yang sengaja disewa untuk
‘mengamankan’ cuaca di partai final sepakbola ini.
Singkat cerita,
ketika sampai di rumah lagi, hari sudah menjelang mahgrib. Aku masuk rumah dengan
rasa was-was, karena kekhawatiran ibu aku kehujanan di lapangan terbukti. Saat minta
baju ganti ke ibu, aku didiamkan saja sama ibu. Begitu juga saat minta makan karena
kedinginan dan lapar, ibu hanya diam saja. Akut ahu, ibu sangat marah luar biasa.
Ketika aku ke dapur dan sedang mau ambil nasi, ibu menghampiriku sambil mencubit
keras-keras dadaku dan bergumam, “Ini upah anak yang nggak nurut orang tua.” Aku
menangis, karena sakit dan juga takut karena sudah melawan larangan ibu.
Ya, itulah –
salah satu – cara ibu mendidik kami, anak-anaknya. Keras, tidak banyak bicara,
tapi dibalik semua itu juga ada kelembutan dan juga kasih sayang yang luar biasa.
Dan 30-an tahun kemudian, ketika aku sudah menjadi ayah, baru aku merasakan
‘kekhawatiran’ yang persis sama seperti ibuku, ketika Tyo putraku belum juga pulang
main, meski sudah menjelang maghrib. Aku punya kemarahan yang sama dengan ibuku
ketika Tiwi putriku melanggar apa yang aku larang.
Aku dapat pelajaran
yang sangat berharga dari peristiwa-peristiwa yang aku jalani ketika masih kecil,
terutama dari sikap dan perilaku ibu. Memang, kemarahan ibu (baca: orangtua)
tidak selalu berkonotasi keras dan otoriter, tetapi lebih dari itu, ada rasa
kasih saying dan kekhawatiran yang luar biasa pada anak-anaknya, terutama pada hal-hal
yang tidak diinginkan.
0 komentar:
Post a Comment