Saat
baru duduk di bangku SMP, satu kebiasaan yang hampir dilakukan seluruh siswa
baru adalah saling mencari informasi ‘semua hal’ tentang guru yang mengajar
setiap mata pelajaran. Ya cara ngajarnya, kebiasaan di kelas, killer apa
enggak, suka ngasih PR apa enggak, sampai nyari tau apakah guru tersebut suka
nyuruh murid maju ke depan apa enggak. Namanya juga baru masuk SMP, yang jauh
beda saat masih di SD, yang gurunya cuma itu-itu juga – guru kelas yang mengajar
semua mata pelajaran – kecuali guru agama yang berbeda.
Dari
investigasi antar kelas tersebut, muncul satu nama yang menjadi guru favorit –
bukan karena keren, cara ngajarnya bagus atau apa – yaitu Pak Margo Utomo, yang
terkenal karena kesabarannya yang luar biasa. Memang sih, beliau kalau
menerangkan di depan kelas, suaranya tidaklah terlalu keras dan tetap
menerangkan (cuek?) walau muridnya pada bertingkah aneh-aneh. Mau ngobrol kek,
mau main kapal-kapalan kek, atau malas-malasan senderan di kursi juga dibiarkan.
Paling-paling beliau cuma ngomong, “Ayo cah.., cubo nyimak neng papan tulis!”
(= Ayo anak-anak.., coba perhatikan ke papan tulis!).
Kesabaran
Pak Margo Utomo yang sudah terkenal seantero SMP Negeri 1 Tumpang ini, kadang
memang ada sisi positifnya, yaitu mata pelajaran Bahasa Jawa – yang diajarkan
beliau – mudah dicerna dan bukan menjadi momok menakutkan. Dianggap menakutkan,
karena harus menghafal (dan bisa menulis) aksara Jawa, yang sudah sangat jarang
terlihat. Cuma ada sisi negatifnya juga, yaitu anak murid jadi kurang ngajeni
(=menghargai) Pak Margo, sehingga muncul perbuatan ngelamak (=kurang ajar) dari
murid terhadap gurunya. Misalnya saja, saat Pak Margo pulang mengendarai sepeda
pancal-nya di jalan raya, murid-muridnya berlomba-lomba untuk nyorakin,
sehingga kadang Pak Margo jadi kurang konsentrasi dan tertatih-taih dalam
mengendarai sepedanya.
Tetapi,
sesabar-sabarnya Pak Margo, pernah juga meluapkan kemarahan yang luar biasa di
kelas. Ini terjadi saat aku duduk di kelas II. Saat pelajaran Bahasa Daerah,
Pak Margo menanyakan kepada kami apakah sudah bisa dimengerti atau ada yang mau
bertanya. Karena semua diam (tidak menghiraukan ?), Pak Margo ganti bertanya
kepada kami tentang materi yang baru dijelaskan. Nah, ketika giliran Herman – mudah-mudahan
aku tidak salah sebut nama – ditanya berulang-ulang tidak menjawab, malah
menelungkupkan wajahnya di meja. Merasa tidak dihiraukan, Pak Margo mendekati
meja Herman, yang persis di samping mejaku. Bertanya lagi, tetapi tidak dijawab
oleh Herman (yang belakangan ketahuan kalau dia malah pulas tertidur!).
Dengan
menahan amarahnya yang amat sangat – terlihat dari wajahnya memerah dan giginya
bergemerutuk – Pak Margo dengan kekuatan penuh menggampar kepala Herman.
Seluruh kelas langsung senyap, ketakutan. Tidak biasanya Pak Margo berlaku
seperti itu. Herman yang terkaget (dan terbangun dari tidurnya) langsung
menangis, entah takut atau kesakitan. Begitu sampai depan kelas, Pak Margo
dengan suara bergetar meminta maaf atas perbuatannya, sambil mengatakan bahwa
beliau tidak akan berbuat seperti itu kalau murid-muridnya tidak keterlaluan
memperlakukannya.
Luar
biasa! Mestinya ini pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun – termasuk
kami yang saat itu ada di dalam kelas – bahwa sifat sabar bukan berarti tidak
bisa marah dan boleh diperlakukan semaunya. Pak Margo telah memberikan contoh
tauladan dalam bersikap sebagai seorang guru: menerangkan, menanyakan,
memperingatkan, bertindak, dan meminta maaf. Ya, sebuah sikap yang harus
ditunjukkan seorang guru, ketika murid-muridnya sudah (mencoba untuk) tidak
menghargai gurunya sendiri!
1 komentar:
Mampir berkunjung om.
Sosok seperti mbah margo patut diacungi jempol karena kesabarannya.
Sejak mbak margo pensiun, sampai saat ini smpn 1 tumpang masih belum ada guru bahasa jawa.
Post a Comment